My Ekspression

My Ekspression
Talk Less Do More

Selasa, 12 Mei 2009

Evolusi Pemasaran Lembaga Pendidikan

Evolusi Pemasaran Lembaga Pendidikan

Ditulis oleh:Daeng Mangawara
Telah dibaca sebanyak 2449 kali
Telah menjadi realitas, bahwa persaingan antar sekolah di Kota Palopo dewasa ini semakin atraktif. Hal ini tentunya menjadi sinyal positif dalam hal peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan pemerintah kota yang memberikan perhatian besar di sektor pendidikan, membuka peluang lebih berinovasinya institusi pendidikan. Sekolah-sekolah kini telah mengubah mindset-nya dengan mulai merevisi beberapa programnya.
Konsep input, proses dan output menjadi obyek kajian yang telah dimantapkan. Tidak mengherankan, jika inovasi-inovasi tersebut menjadi sebuah telaahan marketing yang menarik. Marketing dewasa ini bukan hanya monopoli institusi pendidikan yang profit oriented, namun pula trennya telah diadopsi institusi pendidikan negeri. Upaya untuk menggaet input yang lebih capable dan matang (calon siswa potensial), telah menjadi tuntutan yang wajib dipenuhi, dalam rangka mendukung proses pembelajaran dan kompetisi antar sekolah. Dengan input yang qualified tersebut, maka guru akan lebih mampu untuk melakukan akselerasi, bukan malah menggampangkan proses belajar mengajar.
Konsep pemasaran pendidikan dewasa ini memang telah berevolusi menjadi sebuah kajian yang lebih dewasa. Beberapa sekolah di Jakarta, misalnya, telah mempekerjakan karyawan khusus di bidang marketing. Sekolah-sekolah sekelas Al Azhar, BPK Penabur, dan Tunas Karya kini trennya menurun karena disinyalir memiliki kelemahan dalam konsep marketing.
Inovasi pemasaran lembaga pendidikan (sekolah) memang lagi kreatif-kreatifnya. Panitia penerimaan siswa baru tidak hanya difungsikan sekadar mengurusi hal administrasi dan seleksi ketat semata, namun mereka diefektifkan jauh-jauh hari sebelum tahun ajaran baru untuk mengedukasi dan melakukan kampanye terhadap target-targetnya (calon siswa potensial). Dalam hal ini, tentunya mereka awali dengan melakukan riset mengenai tren masyarakat konsumen pendidikan. Dan pada tahap selanjutnya adalah berinovasi untuk mengedukasi pasar dan menghasilkan input yang sesuai standar target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kini sekolah-sekolah memang harus lebih aktif untuk menggaet input-input yang berkualitas. Hal ini dalam rangka kompetisi tadi. Tak heran jika pilihan berinovasi dengan memajukan waktu perekrutan calon siswa dan membuka jalur khusus siswa berprestasi, menjadi strategi baru SMAN 1 Palopo, SMAN 2, dan SMAN 3 Unggulan Palopo, dalam konteks pemasaran lembaganya.
Strategi komunikasi pemasaran sekolah-sekolah tadi, bahkan telah dilakukan secara profesional dengan memasang artikel satu halaman full di harian lokal. Suatu terobosan unik untuk mengedukasi calon konsumennya. Tentunya strategi ini memerlukan budget yang tidak sedikit. Namun untuk sebuah kemenangan kompetisi, akselerasi peningkatan kualitas dan profesionalisme manajemen sekolah, bukankah ini sesuatu yang patut untuk dicoba?
Perilaku konsumen pendidikan (siswa) di Palopo memang masih cenderung loyal atau masih primordial dalam konteks pendidikan menengah. Ini adalah kekuatan tersendiri untuk pemasaran brand lembaga pendidikan lokal. Ditunjang dengan interland yang belum terlalu valuable kualitas pendidikannya, pasar pendidikan di Palopo cenderung masih sangat prospektif.
Anak usia sekolah menengah masih senang bersekolah di Palopo ketimbang harus hijrah ke Makassar. Hal ini sangat memberi akses, untuk goal Palopo Kota Tujuan Pendidikan, sebagaimana sering dikampanyekan oleh Pemkot Palopo. Berbeda dengan peserta pendidikan tinggi (mahasiswa) yang cenderung menjadikan Makassar sebagai target utama. Olehnya itu ke depan, Pemkot Palopo sejatinya memberikan insentif yang lebih besar untuk sector pendidikan tinggi lokal.
Siswa (termasuk orangtuanya) tidak lagi hanya sekadar melihat pertimbangan lamanya sekolah berdiri, jarak dari rumah ke sekolah dan guru-gurunya saja, melainkan ada faktor-faktor motivasi lain dalam hal memutuskan target sekolah yang dipilih. Dalam konteks ini, positioning sebuah institusi pendidikan merupakan aspek perhatian besar dari konsumennya (siswa).
Sekolah-sekolah yang memposisikan dirinya sebagai sekolah unggulan, andalan ataupun favorit yang diregulasi pemerintah kota (seperti SMAN 3 Palopo) tentu memiliki bargaining position yang lebih baik. Namun tren siswa dewasa ini ternyata tidak hanya melihat positioning sekolah unggulan, andalan dan favorit sebagai satu-satunya pertimbangan untuk memutuskan bersekolah di lembaga tersebut.
Pertimbangan positioning sekolah gaul dan bonafide ternyata menjadi fenomena baru dalam pemasaran lembaga pendidikan. Hal ini penting mendapat respon manajemen sekolah. Berkualitas, disiplin namun tetap gaul cenderung pula menjadi idealisme remaja. Sekolah bonafide, dengan infrastruktur yang lebih mendukung, ruangan ber-AC, fasilitas teknologi yang memadai, kini memang suatu tuntutan pasar yang menjadi kewajiban untuk dieksekusi oleh sekolah, dalam rangka memasarkan lembaganya.
Hal ini karena ternyata perilaku konsumen pendidikan (siswa) yang merupakan usia remaja, relatif ingin suasana dinamis dalam lingkungan sekolahnya. Remaja ingin tahu banyak tentang teknologi pendidikan mutakhir, sehingga sekolah lagi-lagi dituntut menawarkan inovasi dalam content of product yang ditawarkannya.
Content tersebut termasuk pula seberapa besar apresiasi manajemen sekolah terhadap aktifitas kesiswaan yang kreatif dan dinamis. Namun demikian, tulisan ini bukan berarti ingin memasuki area kapitalisasi pendidikan di Palopo, namun lebih beroientasi pada analisis tren pemasaran pendidikan mutakhir. Jadi, intinya adalah bagaimana menciptakan qualistyle di sekolah, bukan sekadar lifestyle.
Kepuasan konsumen pendidikan terhadap kinerja sekolah menjadi keniscayaan untuk menjadi telaah evaluasi. Over promise and under delivery adalah kesalahan pemasaran. Ketidak sesuaian ekspektasi konsumen dan realitas yang ada, akan membentuk citra buruk sekolah. Hal ini patut diwaspadai karena masyarakat kita juga memiliki kemampuan socializing yang kuat.
Komunikasi negatif melalui word of mouth dalam event dan forum sosial akan sangat efektif memberikan pencitraan buruk kepada sekolah, jika memang terjadi ketidakpuasan tadi. Oleh karena itu, harus ada quality assurance dari sekolah untuk siswa dan calon siswa (terutama siswa potensial) terhadap produk yang ditawarkan oleh sekolah itu.
http://www.info-palopo.com/artikel.php?aid=61
Pada tanggal 11 Mei 2009, pukul 17.34

0 komentar: