My Ekspression

My Ekspression
Talk Less Do More

Minggu, 10 Mei 2009

SAS (Sistim Administrasi Sekolah), BELENGGU LAIN DARI OTONOMI SEKOLAH

SAS (Sistim Administrasi Sekolah), BELENGGU LAIN DARI OTONOMI SEKOLAH
Penulis : Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM
Melalui Peraturan Mendiknas (Permen) No. 22, 23 dan 24 tahun 2006, Pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya kewenangan untuk menyusun kurikulum pada masing-masing unit pendidikan (sekolah) yang kita kenal sebagai KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan). Dengan demikian Pemerintah telah mengaris-bawahi amanat tut wuri handayani yang mensya-ratkan otonomi sekolah dan otonomi guru pada porsi yang tepat. Hal ini telah saya singgung dalam tiga tulisan terdahulu yang dimuat di www.kabarindonesia.com dan www.sukainternet.com yaitu : Yang Terlewatkan dari KTSP, Sehabis KTSP lalu Apa? SKS!, dan Manajemen Sekolah atau Manajemen Kurikulum? Maka agak aneh bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Dikmenti (Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi) menganjurkan penyeragaman sistim pelaporan proses pemelajaran menurut versi mereka yang disosialisasikan sebagai SAS (Sistem Administrasi Sekolah) tanpa memberi alternatif lain bagi pengembangan otonomi sekolah dan guru. Sementara BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan Puskur (Pusat Kurikulum) menghindari segala bentuk penyeragaman, justru Dinas Dikmenti Provinsi DKI Jakarta sangat menggebu-gebu dalam memonolitikkan proses kreatif pemelajaran termasuk sistim pelaporannya yang variatif.

Sebenarnya gejala ketidak-sinkronan kebijakan Pemda dan Pemerintah Pusat sudah terlihat pada saat Dinas Dikmenti mengabaikan sosialisasi ke -15 langkah penyusunan KTSP sehingga menimbulkan kerancuan cara pandang dan cara pemahaman orang terhadap KTSP. KTSP dipandang sebagai sekedar urusan administrasi guru dan BUKAN proses kreatif dalam tataran filosofi pendidikan. Apa tolok ukurnya? Maraknya penjualan Silabus dan pencantuman Silabus di buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah Jakarta, padahal seharusnya Silabus disusun sendiri oleh guru pada langkah ke 12 dari rangkaian 15 langkah penyusunan KTSP. Atau masih digunakannya Silabus dari hasil penataran KBK (kurikulum berbasis kompetensi) 2004 di Puncak (Jawa Barat) yang konsepnya sudah jauh berbeda dengan KTSP. Silabus versi KBK 2004 itu tidak mencantumkan kolom : Pengalaman Belajar, yang hanya dapat diperoleh bila guru sudah melakukan Analisis Esensi Materi (langkah ke-6 dari penyusunan KTSP). Pengisian kolom ini tak bisa direkayasa, karena harus melewati 5 langkah berurut sebelumnya. Tolok ukur yang lain adalah permintaan Dinas Dikmenti agar KTSP dari semua SMA dikumpulkan pada bulan Mei 2007 tanpa memberi kesempatan pada sekolah untuk memahami hakekat dan filosofi dari KTSP, yaitu adanya perubahan paradigma dari kegiatan belajar-mengajar menjadi proses pembelajaran (yang diwujudkan dalam langkah ke-4 dan ke-5 dari proses penyusunan KTSP yaitu Penyusunan Indikator Pemelajaran holistik yang meliputi keenam aspek kognitif , ketujuh aspek psikomotor, kelima aspek afektif dan keenam aspek kecakapan hidup dan Pemetaan Taksonomi Bloom serta dari menghakimi siswa menjadi menghargai siswa (yang diejawantahkan dalam langkah ke 14 (Penilaian Berbasis Kelas).

Akibatnya semua SMA mengumpulkan KTSP menurut versi masing-masing, bukan versi BSNP-Puskur-Ditjen Mandikdasmen (Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas) yang mensyaratkan pembuatan Dokumen I KTSP (Isi Pendidikan yaitu penjabaran Visi dan Misi sekolah dalam kegiatan operasional sehari-hari, strategi untuk mewujudkan Visi dan Misi sekolah serta upaya untuk mengatasi kendala yang timbul) dan Dokumen II KTSP (Struktur Kurikulum, Proses Pemelajaran dan Evaluasi serta Keunggulan Lokal) - lihat website Depdiknas : www.depdiknas.go.id lalu klik Dikdasmen terus klik KTSP

Anehnya sekolah yang tidak mengumpulkan KTSP tidak mendapat sanksi apa-apa dari Dinas Dikmenti Prov DKI Jkt dan sekolah yang sudah memasukkan KTSP-nya juga tidak mendapat masukan atau umpan balik yang memadai dari Dikmenti. Seharusnya KTSP itu dikembangkan ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking). Kalau Dikmenti berkilah bahwa tidak ada format baku KTSP mengingat adanya otonomi sekolah dan guru, lalu untuk apa Dikmenti mensosialisasikan SAS dan memaksa agar pihak sekolah mengadopsi SAS? Dikmenti itu Dinas Pendidikan atau Dinas Persekolahan ? Kalau kepanjangan dari Dikmenti adalah Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, lalu untuk apa Dikmenti terjun mengurusi administrasi sekolah?

Mengapa harus SAS ?

UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 38 ayat 2 mengemukakan azas otonomi sekolah dan guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri, sedangkan isi pasal 39 ayat 1 mengemukakan kewenangan guru dalam melaksanakan tugas administrasi, pengelolaan, pengembangan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan, ayat 2 mengemukakan wewenang guru dalam merencanakan proses pembelajaran dan menilai hasil pembelajaran. Dengan demikian, otonomi sekolah dan guru dijamin oleh UU dan tak boleh dilanggar oleh Pemda dan Dinas Dikmenti Prov DKI Jkt. Apalagi bila mengacu pada Kep.Mendiknas No. 125/U/2002 pasal 1 disebut bahwa Dinas Provinsi adalah Dinas yang menangani bidang pendidikan di Provinsi (bukan bidang persekolahan) , pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa ulangan harian dan ulangan umum merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang diselenggarakan oleh sekolah (tidak ada satu katapun yang menyebutkan bahwa proses dan hasil evaluasi harus dimasukkan dalam bank data Dinas Provinsi melalui SAS)

Hal kedua yang menjadikan SAS amat mengacaukan hakekat dari KTSP adalah ketidak- sinkronannya dengan proses pembuatan KTSP. Bila disadari bahwa sekolah dan guru berhak menyusun kurikulumnya sendiri, maka sebagai data base, SAS sama sekali tidak berguna karena setiap guru akan menyusun Indikator Pemelajaran, KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), Silabus serta item-item dalam Penilaian Berbasis Kelas yang berbeda – dengan perbedaan signifikan ini apakah data base itu dapat dianalisa? Bukankah KTSP dari begitu banyak sekolah yang sudah dikumpulkan sejak Mei 2007 di Dikmenti itu juga tidak diproses lebih lanjut ke arah HOT?

Kalau tujuan dari SAS adalah untuk pemetaan sekolah, maka hal ini juga merupakan pemborosan karena pihak Depdiknas juga sudah melakukan pemetaan sekolah di seluruh Indonesia yang dapat diakses melalui website Depdiknas : www.depdiknas.go.id lalu klik Peringkat Sekolah dan Direktori Sekolah.

Kalau tujuan dari SAS adalah untuk membuat proses pemelajaran menjadi transparan dimana orang tua dan masyarakat dapat memantau kemajuan para peserta didik, maka alasan ini juga kurang dapat diterima, mengingat ada begitu banyak sarana-prasarana pendidikan di dunia maya yang dapat dimanfaatkan tanpa mengganggu otonomi sekolah dan guru. Misalnya : Dinas Dikmenti dapat lebih memberdayakan website sekolah, atau mengoptimalkan jalannya Sekolah On-line Indonesia yang disponsori PT Telkom, atau mendorong keaktifan sekolah-sekolah yang terdaftar dalam laman sch.id yang dikembangkan oleh Kementerian Negara Kominfo atau menjalin kerja sama dengan situs pendidikan yang dikelola oleh Oracle Education Foundation yaitu : www.think.com – komunitas pembelajar maya dimana publik dapat mengakses situs sekolah di manapun di seluruh dunia tanpa memerlukan password.

Kalau tujuan dari SAS adalah membuat proses kreatif pemelajaran dan evaluasi menjadi inter-aktif, maka masih banyak pilihan untuk itu, misalnya SMS (sistim manajemen sekolah) yang diperkenalkan oleh MXL Australia (Maximizing eXellence in Learning), atau SKS (sistim kredit semester) atau membuat laman Dikmenti sendiri menjadi inter-aktif. Dengan demikian pihak-pihak yang berkepentingan dengan SAS di Dikmenti tidak mematikan proses demokrasi di jantungnya sendiri. Biarlah sekolah memilih apa yang terbaik menurut mereka sendiri. Segala bentuk otoritarian harus ditentang di jaman reformasi ini.

Apa yang harus dilakukan?

Sebaiknya Dikmenti Provinsi DKI Jakarta kembali ke jati dirinya sebagai Dinas Pendidikan dan bukan Dinas Persekolahan. Sebagai Dinas Pendidikan, fungsinya adalah mendorong terwujudnya MBS (manajemen berbasis sekolah) dan Sekolah Mandiri.

Prinsip dari MBS adalah audit kinerja sekolah yang dewasa ini justru terabaikan bukan hanya karena adanya ketertutupan dalam pengelolaan keuangan (lihatlah tingginya uang masuk sekolah tanpa tahu uang itu digunakan untuk apa) dan adanya ketertutupan dalam proses inter-aksi guru dan siswa di kelas sehingga output atau kualitas pendidikan tak teraudit, akibatnya bimbel (bimbingan belajar) dan les privat makin marak saja di Jakarta.

MBS juga mengukur kinerja guru sehingga guru termotivasi untuk berprestasi dan terus berinovasi karena semua stakeholders akan memantau pencapaian targetnya. Akibatnya tidak ada guru yang menerapkan metode drill dalam menghadapi UAN atau meng-kontrak-kan bulan-bulan terakhir dari kelas XII (kelas III) SMA kepada bimbel untuk mengejar nilai tinggi dalam UAN, karena cara-cara ini merupakan pengkhianatan terhadap proses memanusiakan manusia muda (proses karbitan itu hanya akan menciptakan manusia-manusia yang ingin mencapai hasil secara instant dan mengabaikan proses) (Prof.Dr.N. Driyarkara SJ dalam Pendidikan Nilai-nilai Hidup)

Sekolah Mandiri bukan hanya mendorong sekolah supaya mandiri secara finansial tetapi juga mewujudkan otonomi sekolah dan guru dalam arti yang seluas-luasnya. Sehingga sekolah dapat didorong untuk mendirikan unit litbang, mempunyai bank soal, mempunyai bank data sendiri (mampu mengelola data base sendiri) dan merealisir website sekolah yang inter-aktif. Dengan demikian, Dikmenti tidak usah bersusah payah mengorganisir bank data atau data base sekolah melalui SAS.

Jadi mengutip Dr. Mochtar Buchori dalam temu darat Forum Pembaca Kompas tanggal 1 September 2007 yang lalu, sebaiknya Dikmenti berkonsentrasi mengurus difokuskannya kurikulum (KTSP) pada 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis sehingga KTSP tidak direduksi menjadi hanya sekedar masalah administrasi (SAS). Dengan demikian, mengacu pada Questioner BAN (Badan Akreditasi Nasional) dalam butir no. 54 dari Evaluasi Diri, sekolah dapat menyebutkan berbagai alternatif penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat tidak hanya melalui SAS tetapi juga melalui website-nya sendiri atau melalui media sekolah on-line yang lain. Sekali lagi penyampaian hasil pemelajaran ke masyarakat bukan monopoli Dikmenti Provinsi DKI Jakarta dan data base sekolah yang sudah dipunyai Depdiknas hendaknya dapat dimanfaatkan secara optimal.

Kekacauan yang ditimbulkan oleh SAS tidak cukup diredam dengan memutasikan pejabat yang bersagkutan, lalu meralatnya menjadi sekedar langkah awal menuju pada e-education, tapi lebih baik bila grand design Depdiknas (Pemerintah Pusat) dipahami secara benar oleh Pemda dan pihak Komite Sekolah/Yayasan. Apa wujud grand design itu?

Memahami grand design pendidikan kita

* Penerapan otonomi sekolah dan otonomi guru yang diwujudkan dalam kemandirian guru dalam menyusun kurikulum yang kita kenal sebagai KTSP. Bila mengacu pada Bloom, maka ada 15 langkah penyusunan KTSP yang akan menghasilkan HOT (Higher Order of Thinking) sesuai dengan taksonomi Bloom
* Untuk dapat menyusun kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan (bukan silabus yang asal contek dari buku-buku Penerbit Yudhistira atau Grasindo), maka guru harus benar-benar professional (guru harus lulus program sertifikasi guru) dan sebagai tenaga professional, guru berhak atas tunjangan profesi . Selama ini guru hanya mendapat tunjangan fungsional (itupun tidak semua sekolah memberikannya) dan Kepsek/Wakepsek/Wali Kelas hanya mendapat tunjangan jabatan.
* Program sertifikasi guru hendaknya tidak dipahami sebagai sekedar ujian profesi, tapi lebih dalam dari itu, yaitu uji kemampuan guru untuk memenuhi tuntutan "keharusan belajar secara terus menerus" (long life education). Banyak guru sekarang ini mandeg secara akademis.
* KTSP adalah perencanaan guru menuju HOT, bukan sekedar persiapan mengajar guru di kelas. Oleh sebab itu, manajemen persekolahan harus dibenahi melalui MBS, karena KTSP menuntut perubahan-perubahan paradigma seperti yang telah saya uraikan dalam tiga tulisan terdahulu : Yang Terlewatkan dari KTSP, Sehabis KTSP lalu Apa? SKS! dan Manajemen Kurikulum atau Manajemen Sekolah?
* Audit kinerja guru diukur melalui UAN (national exam) dan audit kinerja sekolah dinilai melalui akreditasi sekolah. Jadi tak usah terlalu takut dengan UAN, karena menurut Permen no. 19 tahun 2005 tentang Sistim Pendidikan Nasional, dinyatakan, yang diuji adalah batas minimal dari target pencapaian kurikulum (bukankah kita telah menjalaninya secara mulus pada kurikulum '75 dulu, yang juga mengujikan banyak mata pelajaran?) dan tidak usah tergopoh-gopoh bila mau diakreditasi, karena sebenarnya 184 butir isian Evaluasi Diri dari BAS yang dipergunakan sebagai acuan dalam akreditasi sekolah adalah pendokumentasian kegiatan sehari-hari di sekolah dan bila MBS dijalankan secara benar, maka sekolah akan mudah memenuhi kriteria SSN (sekolah standar nasional)
* Sekolah-sekolah yang gurunya telah lulus program sertifikasi guru dan berhasil membuat KTSP sampai ke tingkat HOT, serta telah menerapkan MBS, dapat memulai dengan moving class, yang selanjutnya menuju pada penerapan SKS (sistim kredit semester). Apakah ada contoh untuk hal ini? Ada. JIS (Jakarta International School) di Narogong, Jakarta Selatan. Tapi itu kan sekolah internasional. Apa ada contoh dari dalam negeri? Ada. TK Kepompong di Kemang, Jakarta Selatan atau SD Mangunan di Yogya dan Sekolah Citra Berkat di Surabaya.

Berdasarkan pengalaman ini, lain kali pihak Yayasan/Komite Sekolah harus secara tegas menolak hal apapun yang bertentangan dengan KTSP. SAS memang telah diendapkan, pejabat yang bersangkutan telah dimutasi, tetapi kerancuan yang timbul mungkin tak akan pernah bisa diperbaiki lagi. Lebih baik Yayasan/Komite Sekolah berkonsentrasi menghadapi persaingan global dengan makin menjamurnya sekolah-sekolah internasional dimana-mana untuk persaingan di tingkat elite dan bertumbuhnya sekolah semacam Citra Berkat di tingkat menengah.
http://www.sukainternet.com/?pilih=umum&id=1218881689
Pada tanggal 6 Mei 2009, pukul 20.49

0 komentar: