My Ekspression

My Ekspression
Talk Less Do More

Kamis, 28 Mei 2009

Profil Diri

Nama saya Kristian Novi Aristanto atau biasa dipanggil “Tian” oleh teman-teman saya. Saya dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari tahun ’89, saya anak pertama dari 2 bersaudara. Saya memiliki seorang adik perempuan yang sekarang baru duduk di bangku SMA. Saya sangat hobi sekali menonton dan bermain sepak bola terutama futsal. Sekali dalam seminggu saya bermain futsal di tampat futsal bersama teman-teman saya. Kedua orang tua saya bekerja sebagai Pegawai di salah satu perusahaan swasta di daerah Kawasan Industri Pulogadung. Pada saat ini saya masih tinggal bersama kedua orang tua saya di Perumahan Pondok Ungu Permai Blok D8 No.3 Bekasi Utara. Sebelum tinggal di perumahan ini saya tinggal di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, kemudian pada saat umur saya 4 tahun saya sekeluarga pindah ke Bekasi. Kedua orang tua saya mendidik saya untuk menjadi orang yang berani dan bertanggung jawab. Saat anak-anak saya bersekolah di TK. RA Amanah 2 tahun kemudian saya lulus dari sekolah tersebut dan melanjutkan ke SDN Kaliabang Tengah III. Selama 6 tahun saya bersekolah di SD tersebut kemudian saya melanjutkan sekolah kembali ke jenjang pendidikan yang berikutnya yaitu SLTP. Saya bersekolah di SLTP Negeri 19 Bekasi, banyak pengalaman yang saya dapatkan selama saya bersekolah di SLTP tersebut. Setelah lulus dari SLTPN 19 saya melanjutkan sekolah kembali, kali ini saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri 10 Bekasi. Setelah tamat dari sana saya melanjutkan pendidikan di Unversitas Negeri Jakarta sampai pada saat ini.
Cukup banyak prestasi yang pernah saya raih selama saya saya bersekolah dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Pada saat sekolah dasar saya pernah menjadi perwakilan sekolah untuk dokter kecil untuk mengikuti seminar dan pengenalan profesi dokter. Selain itu saya pernah menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti perlombaan “Calistung” membaca, menulis, dan berhitung antar sekolah dasar di Kota Bekasi, hasilnya pun alhamdulillah cukup baik, pada saat itu sekolah saya menjadi juara 2. Kemudian di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama saya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Cukup banyak prestasi yang saya dan sekolah saya peroleh dalam kegiatan ekstrakirukuler ini. Beberapa diantaranya adalah menjadi juara 2 lomba baris-berbaris antar SLTP se Kota Bekasi dalam rangka HUT PRAMUKA. Kemudian sekolah saya juga pernah menjadi perwakilan Profinsi Jawa Barat untuk mengikuti perlombaan pramuka tingkat SLTP se Indonesia. Selain itu masih banyak lagi prestasi yang saya raih dalam kegiatan ekatrakurikuler pramuka.
Cita-cita yang ingin saya capai kedepannya adalah memberikan kontribusi bagi pendidikan di Indonesia, karena melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari standar negara-negara lain. Salah satunya ialah saya ingin mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, jadi tidak hanya orang mampu saja akan tetapi orang yang tidak mampu pun mampu bersekolah. Hal ini bertujuan untuk mencerdaskan para penerus bangsa. Banyak anak-anak di luar sana yang sebenarnya memiliki tingkat kecerdasan atau potensi yang tinggi akan tetapi dikarenakan tidak adanya biaya untuk bersekolah maka anak tersebut tidak dapat mengembangkan pengetahuan dan potensi yang dimiliki.
Untuk mewujudkan cita-cita ini saya harus lebih banyak lagi balajar, lebih banyak lagi membaca buku atau mencari informasi-informasi tentang pendidikan yang lain. Saya juga harus dapat terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi nyata dari pendidikan di lingkungan masyarakat. Selain itu saya juga dapat berkonsultasi atau mendengarkan penjelasan tentang pendidikan dari narasumber yang terlibat dalam bidang pendidikan di Indonesia.

Jumat, 22 Mei 2009

Manajemen Pendidikan Dalam Menghadapi

Manajemen Pendidikan Dalam Menghadapi
Kreativitas Anak
[7:20 AM | 5 comments ]
Banyak kalangan yang belum puas dengan kualitas pendidikan di negara kita. Tentunya kita tidak jarang mendengarkan ungkapan-ungkapan seperti: “pendidikan negara kita belum berkualitas”, “pendidikan di Indonesia telah tertinggal jauh dari negara-negara lain”, “kapan kita akan maju kalau pendidikan kita berjalan di tempat”, dan lain sebagainya.

Para ahli pendidikan telah sepakat bahwa suatu sistem pendidikan dapat dikatakan berkualitas, apabila proses kegiatan belajar-mengajar berjalan secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak dan sebaik mungkin melalu proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan menghasilkan hasli yang bermutu serta relevan dengan perkembangan zaman. Agar terwujud sebuah pendidikan yang bermutu dan efisien, maka perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidiakn yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan mutu pedidikan yang optimal, diharapkan akan menghasilkan keungugulan smber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang secara pesat.

Untuk dapat mencapai sebuah pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pedidikan yang mampu memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Di antaranya adalah manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Masih banyak kita temukan fakta-fakta di lapangan sistem pengelolaan anak didik yang masih mengunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan tentunya kurang mmberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.

Perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental merupakan idikasi dari perkambangan anak didik yang baik. Tidak ada satu aspek perkambangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh itu tidaklah salah bila teori kecerdasan majmuk yang diutarakan oleh Gardner dinilai dapat memenuhi kecenderungan perkambangan anak didik yang bervariasi.

Maka penyelenggaraan pendidikan saat ini harus diupayakan untuk memberikan pelayanan khusus kepada peserta didik yang mempunyai kreativitas dan juga keberbakatan yang berbeda agar tujuan pendidikan dapat diarahkan menjadi lebih baik.

Muhibbin Syah menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah "didik" atau "mendidik" yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan "pendidikan", merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran. Kegiatan dari pengajaran ini melibatkan peserta didik sebagai penerima bahan ajar dengan maksud akhir dari semua hal ini sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang no. 20 tentang sisdiknas tahun 2003; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pdidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalu sebuah proses pengajaran diberikan. Dan sudah mafhum bahwa peserta didik memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara pesrta didik yang satu dengan peserta didik yang lain. Para pendidik dan lembaga pendidikan harus menghargai perbedaan yang ada pada mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik.

Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal. Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan Tradisional Konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.

Undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, perundangan itu berbunyi " warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus". Baik secara tersurat ataupun tersirat UU No.20 tersebut telah mengamanatkan untuk adanya pengelolaan pelayanan khusu bagi anak-anak yang memiliki bakat dan kreativitas yang tinggi.

Pengertian dari pendidikan khusus disini merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan-pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada akhirnya memang diperlukan adanya suatu usaha rasional dalam mengatur persoalan-persoalan yang timbul dari peserta didik karena itu adanya suatu manajemen peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Siswa berbakat di dalam kelas mungkin sudah menguasai materi pokok bahasan sebelum diberikan. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar keterampilan dan konsep pembelajaran yang lebih maju. Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di dalam masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa. Sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut kecepatannya sendiri.

Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.

Suatu yang tidak terbantahkan jika masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah.

Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.

Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara. Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya. Amin

http://nadhirin.blogspot.com/2009/03/manajemen-perserta-didik-dalam.html

SISTEM PEMBELAJARAN KBK TERHADAP MOTIVASI

SISTEM PEMBELAJARAN KBK TERHADAP MOTIVASI
BELAJAR PARA PESERTA DIDIK PADA BIDANG STUDI FISIKA

Judul: SISTEM PEMBELAJARAN KBK TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PARA PESERTA DIDIK PADA BIDANG STUDI FISIKA
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): betha nurina sari
Tanggal: 9/10/2004
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. SISTEM PEMBELAJARAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten dilibatkan secara langsung dalam penyusunan silabus kurikulum berbasis komperensi yang mulai diterapkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam tahun ajaran baru tahun ini.

Menurut Kepala Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Dr.Siskandar , penerapan kurikulum berbasis kompentensi itu sesuai dengan tuntutan perkembangan kondisi negara dan sistem administrasi pemerintahan.

Dr.Siskandar menjelaskan bahwa materi pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK) tidak jauh berbeda dengan kurikulum 1994 yang dpakai sekolah - sekolah pada waktu lalu.Yang membedakan antara kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dengan kurikulum sebelumnya adalah adanya partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah di dalam menjabarkan materi kurikulum yang bersifat nasional melalui silabus.

Di dalam kurikulum ini , silabus adalah isi kompetensi dan elaborasi (uraian dan rincian) materi pelajaran , pembelajran dan penilaian serta pengalokasian waktu yang disusun sesuai dengan semester dan kelas masing - masing.Silabus juga sebagai bentuk operasional kompetensi dan materi pelajaran pokok sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan serta mengelola kegiatan pembelajaran.

Untuk menjamin bahwa kompentensi dasar yang telah ditentukan dapat dicapai maka perlu prinsip ketuntasan belajar ( mastery learning) dalam pembelajaran dan penilaian.

Sebenarnya KBK itu sendiri adalah kurikulum ideal yang tidak saja akan berhasil meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita , tetapi juga menuntut para praktisi pendidikan khususnya para guru untuk mempersiapkan seluruh potensi dirinya.Tujuan diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi ini adalah untuk menghasilkan terjadinya demokratisasi pendidikan.Diharapkan hasil keluaran KBK dapat menciptakan lulusan yang menghargai keberagaman (misalnya dalam perbedaan pendapat , agama , ras maupun budaya). Pengkonstuksian dan penyususnan pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari , oleh dan untuk para peserta didik.Dengan demikian , dalam penyusunan rencana pembelajaran , seorang guru harus mampu menyusunnya sehingga kelas dapat berlangsung dalam Susana fun (menyenangkan) , demokratis dan terbuka.

Pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan adalah pendekatan kontruktivisme , sains , teknologi dan pendekatan inquri secara utuh.Keutuhan suatu materi pelajaran tentu parameternya harus komprehensif.Misalnya guru harus cerdas , tepat seta efektif dalam menafsikan dan mengimplementasikan KBK yang menjamin tercapainya kompetensi-kompetensi tamatan.

Dengan ketiga pola pendekatan tersebut di atas , para peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan suatu konsep dengan menggunakan kompetensi yang dimiliki.Ketercapaian penggalian dan penemuan kompetensi , dilakukan oleh peserta didik itu sendiri sehingga mereka mampu menghayati dan mengamalkan untuk bertaqwa kepada Tuhan Yyang Maha Esa , rasa ingin tahu , toleransi , berfikir terbuka , percaya diri ,kasih saying , peduli sesama , kebersamaan , kekeluargaan dan persahabatan.

B. MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK

Kemampuan motivasi adalah kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri guna melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat.Dalam hal ini terkandung adanya unsure harapan dan optimisme yang tinggi , sehingga memiliki kekuatan semangat untuk melakuakan suatu aktivitas tertentu , misalnya dalam hal belajar.Itulah yang disebut dengan motivasi belajar.

Jadi motivasi belajar para peserta didik pada bidang studi fisika adalah kemempuan atau kekuatan semangat untuk melakukan proses belajar dalam bidang studi fisika.Dengan motivasi belajar yang tinggi ,diharapkan para peserta didik akan meraih prestasi belajar fisika yang memuaskan.

C. SISTEM PEMBELAJARAN FISIKA

Fisika merupakan bagian adri Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) , yaitu sutau Ilmu yang mempelajari gejala dan peristiwa atau fenomena alam serta berusaha untuk mengungkap segala rahasia dan hokum smesta.Objek Fisika meliputi mempelajari karakter , gejala dan peristiwa yang terjadi atau terkandung dalam benda - benda mati atau benda yang tidak melakukan pengembangan diri.

Telah diketahui bersama bahwa di aklangan siswa SMU / MA telah berkembang kesan yang kuat bahawa pelajaran Fisika merupakan pelajaran yang sulit untuk dipahami dan kurang menarik.Salah satu penyebabnya adalah kurangnya minat dan motivasi untuk mempelajari Fisika dengan senang hati , merasa terpaksa atau suatu kewajiban.Hal tersebut merupakan akibat kurangnya pemahaman tentang hakikat , kemanfaatan , keindahan dan lapangan kerja dari Fisika.

Belajar Fisika akan menyenangkan kalau memahami keindahannya tau manfaatnya.Jika siswa sudah mulai tertarik baik oleh keindahannya , manfaatnya atupun dari lapangan kerjanya ,mereka akan bisa lebih mudah dalam menguasai Fisika.Maka , motivasi belajar sudah menjadi modal pertama untuk menghadapi halangan atau kesulitan apapun yang akan menghadang ketika sedang belajar Fisika.

Tidak sedikit siswa yang merasa stress ketika akan mengikuti pelajaran Fisika.Hasil - hasil evaluasi belajar pun menunjukkan bahwa nilai rata - rata kelas di raport untuk pelajaran Fisika seringkali merupakan nilai yang terendah disbanding dengan pelajaran pelajaran lain.Tanpa disadari ,para pendidik atau guruturut memberikan kontribusi terhadap factor yang menyebabkan kesan siswa tersebut di atas.Kesalahan - kesalahan yang cenderung dilakukan para guru , khususnya guru Fisika adalah sebagai berikut :

1. Seringkali , Fisika disajikan hanya sebagai kumpulan rumus belaka yang harus dihafal mati oleh siswa , hingga akhirnya ketika evaluasi belajar , kumpulan tersebut campur aduk dan menjadi kusut di benak siswa.

2. Dalam menyampaikan materi kurang memperhatikan proporsi materi dan sistematika penyampaian , serta kurang menekankan pada konsep dasar , sehingga terasa sulit untuk siswa.

3. Kurangnya variasi dalam pengajaran serta jarangnya digunakan alat Bantu yang dapat memperjelas gambaran siswa tentang materi yang dipelajari.

4. Kecendrungan untuk mempersulit , bukannya mempermudah.Ini sering dilakukan agar siswa tidak memandang remeh pelajaran Fisika serta pengajar atau guru Fisika.

Metode pembelajaran tersebut banyak diterapkan di SMU atau MA pada kurikulum sebelum KBK diterapkan.Tetapi metode pembelajran tersebut tak lagi diterapkan pada kurikulum berbasis kompetensi.Malah sebaliknya , siswa diharapkan dapat belajar Fisika dengan mudah , tanpa ada paksaan serta tak lagi merasa suatu kewajiban.Malah belajar Fisika dapat menjadi suatu kegemaran yang menyenangkan dan menarik.

Metode pembelajaran Fisika di SMU atau MA pada kurikulum berbasis Kompentensi seharusnya adalah sebagai berikut :

1) Pengantar yang baik

Dalam memulai suatu pokok bahasan atau bab yang baru , siswa butuh suatu "pengantar" yang baik , agar mereka merasa nyaman dalam menerima transfer ilmu.Pengantar yang dimaksud mencakup gambaran singkat tentang apa yang dipelajari.

2) Start Easy

Saat masuk ke suatu pokok bahasan , sebaiknya diawali dengan pen- jelasan yang sederhana , mudah dicerna , disertai dengan contoh - contoh soal serta soal - soal latihan yang mudah pula.Hal ini penting untuk memberikan kesan "mudah" pada siswa dan menumbuhkan kepercayaan dirinya.

3) Sesuap demi sesuap

Proses pembelajaran hendaknya dilakukan secara bertahap , baik dari segi penyampaian materi maupun dari tingkat kesulitan soal.Hindari penyampaian materi yang banyak sekaligus dalam satu pertemuan , ataupun langsung menguji siswa dengan soal - soal yang sulit sebelum mereka mencoba hal - hal yang mudah terlebih dahulu.

4) Gamblang

Penjelasan suatu konsep Fisika haruslah gambling , jagan biarkan siswa menangkap suatu konsepsecara samar - samar karena ini akan menjadi beban bagi siswa di masa selanjutnya.

Celakanya , inilah yang justru banyak terjadi.Misalnya , pada saat siswa SMU yang abru masuk kita minta untuk menyebutkan bunyi hokum Archimedes , nyaris tidak ada yang mampu menyebutkannya dengan benar.

5) Menyederhanakan dan membatsi

Salah satu hal yang sering dikeluhkan siswa daalah bahwa materi yang diajarkan terasa rumit dan terlalu banyak.Hal ini sangat ironis mengingat beban dari kurikulum sendiri tidak menuntut demikian.Yang terjadi adalah seringkali guru merasa belum puas bila belum mengajarkan materi - materi pengayakan yang sebenarnya tidak tercantum dalam GBPP.Untuk memecahakan persoalaan itu yaitu dengan menyedehanakan dan membatasi bahan materi yang dibahas.

6) Ilustrasi yang membantu pemahaman

Dalam pengajran Fisika penggunaan Ilustrasi merupakan alat yang efektif dalam menanamkan pemahaman pada siswa.

7) Analogi membangun imajinasi

Analogi juga merupakan cara yang efektif dalam membangun imajinasi dan daya nalar siswa .

8) Konsep dan rumus dasar sebagai kunci iggris

Pada saat pembelajaran Fisika , seringkali para guru mengajarkan rumus cepat kepada siswa untuk mengatasi kesulitan dalam memecahkan suatu persoalan .Penggunaan rumus ini justru menampuhkan kemampuan siswa dalam menggunakan konsep dan rumus dasar .

9) Alat Bantu dan eksperimen untuk memperkuat pemahaman

Fisika merupakan ilmu alam , dan dalam mempelajari tentu tak dapat lepas dari eksperimen . Kadang hanya lewat eksperimen , siswa dapat meyakini suatu hal yang sepintas tidak sesuai dengan logika mereka . Selain itu , media elektronik juga baik untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran

10) " Game " untuk membangun suasana

Proses pembelajaran tidak dapat dipaksakan bila kondisi siswa sudah jenuh . Hal tersebut diatasi dengan mengadakan " game " dimana siswa diberi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang sudah diajarkan .

11) Soal-soal standar untuk melatih skill

Dalam menghadapi evaluasi belajar , selain diperlukan pemahaman konsep juga dibutuhkan keterampilan menjawab soal . Keterampilan ini dapat ditingkatkan dengan banyak latihan mengerjakan soal-soal fisika .

D. PRESTASI BELAJAR FISIKA

Prestasi belajar merupakan suatu gambaran dari penguasaan kemampuan para peserta didik sebagaimana telah ditetapkan untuk suatu pelajaran tertentu.Setiap usaha yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran baik oleh guru sebagai pengajar , maupun oleh peserta didik sebagai pelajar bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi - tingginya.

Prestasi belajar dinyatakan dengan skkor hasil tes atau angak yang diberikan guru berdasarkan pengamatannya belaka atau keduanya yaitu hasil tes serta pengamatan guru pada waktu peserta didik melakukan diskusi kelompok.

Berdasarkan batasan pengertian prestasi belajar tersebut , dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar Fisika adalah hasil yang telah dicapai siswa melalui suatu kegiatan belajar Fisika.Kegiatan belajar dapat dilakukan secara individu maupun dan secara kelompok.

http://re-searchengines.com/art05-57.html

PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU

PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU

Judul: PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): BHINUKO WARIH DANARDONO
Saya Mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta semester 8
Topik: PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU
Tanggal: 14 September 2006


Di sini kita ketengahkan mengenai bagaimana peran kerja murid dalam mengupayakan pendidikan ini agar pendidikan adalah nomer satu. Memang dari hal ini pentingnya pendidikan itu sangat memberikan makna yang kompeten karena didasari oleh kemampuan pola pikir murid dan juga kepribadian murid. Arti penting pendidikan itu adalah membawa sebuah kebanggaan tersendiri seperti misalnya prestasi-prestasi di sekolah, prestasi dalam tim olimpiade di luar negeri dengan prestasi ini maka murid akan membawa nama harum bangsa kita. Persolan-persoalan dalam dunia pendidikan ini sangat mengacu sekali pada kemampuan daya berpikir murid dari satu murid ke murid lainnya oleh karena ini kita akan tahu mana murid yang berprestasi dan mana murid yang tidak berprestasi.

Upaya pemerintah dalam menindak lanjuti tentang pendidikan itu pemerintah lebih melihat siswa itu dari segi sektor pergulan pendidikan dan sifat dan karakteristik murid dalam kesehariannya. Dari sini sektor pergaulan itu ada 3 yaitu pergaulan di lingkungan rumah, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah begitu juga dengan sektor pendidikan juga sama kalau sektor pendidikan dibagi 3 yaitu pendidikan dirumah, pendidikan di masyarakat dan pendidikan di sekolah. sebelum kita berlanjut ke hal berikutnya kita bahas terlebih dahulu yang pertama mengenai sektor pergaulan, sektor ini dibagi 3 yaitu dirumah,di masyarakat dan di sekolah. sektor pergaulan dirumah yaitu bagaimana dia bergaul berkomunikasi dengan keluarganya apakah dia nyaman, dapat kasih sayang ,dukungan atau tidak oleh keluarganya dalam hal ini kakak adik ayah dan ibu karena dari sektor pergaulan dirumah inilah nantinya anak ini bisa maju dan berhasil. pergaulan di masyarakat apakah dia bisa beradaptasi di masyarakat atau tidak karena masyarakat adalah kuncinya manusia itu bisa berkembang dan punya banyak teman dan juga punya rasa sopan santun, hormat menghormati dan lain sebagainya.

Sektor pergaulan di sekolah antara lain apakah dia bisa beradaptasi tidak dengan orang lain yan sama sama bersekolah disekolahnya. Sektor pendidikan ada 3 yaitu dirumah, dimasyarakat dan di sekolah. Sektor pendidikan dirumah antara lain dapat bimbingan pengajaran dari orang tua tentang didikan ajaran baik dan buruknya dan juga yang lain, sektor pendidikan dimasyarakat antara lain menyangkut tentang tata krama atau sopan santun terhadap orang yang lebih tua dan lain sebagainya, sektor pendidikan di sekolah antara lain belajar hormat menghormati dan berkumpul atau bergaul. Dari beberapa sektor yang sudah dibahas satu persatu ini dapat disimpulkan bahwa manusia itu tak luput dari orang lain dan manusia itu tidak bisa individu karena manusia itu diciptakan oleh Allah itu untuk bersama sama dengan orang lain.

Murid adalah junjungan yang patut dibanggakan karena kalau muri berprestasi dan dan meraih gelar maka murid dapat membawa nama baik keluarga masyarakat dan juga negara tercinta kita ini.Kita tahu banyak generasi mudah sekarang ini yang senangnya hura-hura yaitu sering mabuk-mabukkan dan ngedrugs, sering tawuran, berkelahi, dan lain,lain halnya. Dengan perilaku generasi mudah kita ini maka negara kita ini yang terlalu banyak dilecehkan oleh negara lain dan negara kita ketinggalan oleh negara lain mengenai permasalahan pendidikan ini. kita ini lemah karena ada barang baru masuk ke Indonesia pun ikut mencoba-coba misalnya yang tadi miras dan obat obatan terlarang ini yang beredar sekarang .

http://re-searchengines.com/0906bhinuko2.html

PAKEM sebagai Pembelajaran Konvensional Memantapkan Identitas Guru

Artikel:
PAKEM sebagai Pembelajaran Konvensional Memantapkan Identitas Guru

Judul: PAKEM sebagai Pembelajaran Konvensional Memantapkan Identitas Guru
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION SYSTEM.
Nama & E-mail (Penulis): Muh. Syukur Salman
Saya Guru di Parepare
Topik: PAKEM
Tanggal: 30 Desember 2008
Seiring dengan perkembangan zaman serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, maka tak bisa ditawar keharusan untuk terus mengadakan pembaharuan disegala lini kehidupan. Terutama sekali yang bersentuhan langsung dengan kemajuan Iptek itu sendiri, yakni Pendidikan. Sistem yang ada di dalam pendidikan harus terus mengadakan "mutasi" kearah yang positif demi mendukung sinergitas dengan kemajuan tadi. Pembelajaran di dalam kelas sebagai suatu sub system yang sangat penting dalam pendidikan tak ayal harus berbenah juga.

Berbagai teknik pembelajaran, baik itu metode, pendekatan, maupun tata cara atau aturan dalam pembelajaran gencar ditelorkan demi menghasilkan transfer pengetahuan dari guru ke siswa yang lebih optimal. Salah satu yang sangat gencar diperkenalkan dan dilatihkan adalah Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (Pakem). Hakikat Pakem sebenarnya adalah memberi rasa nyaman dan betah siswa (anak didik) dalam menerima pelajaran. Oleh karena itu Pakem sangat memperhatikan keinginan atau kegemaran anak, yakni bermain. Pembelajaran diolah sedemikian rupa sehingga terdapat unsur permainan di dalamnya. Mulai pembelajaran dalam bentuk lomba, kerjasama atau diskusi, sampai pembelajaran yang dilakukan di luar kelas.

Kemunculan Pakem sebenarnya disebabkan adanya indikasi bahwa siswa jenuh terhadap pembelajaran yang selama ini diterapkan. Pembelajaran yang monoton (tidak kreatif), hanya mendengarkan guru berceramah (pasif, tidak aktif), kurangnya transfer ilmu yang dapat bertahan lama pada siswa (tidak efektif), dan terakhir tentu saja sangat membosankan (tidak menyenangkan). Demikianlah nuansa pembelajaran yang kebanyakan dilakukan oleh guru selama ini. Pembelajaran yang demikian itu, yang selama ini banyak dilakukan, disebutlah sebagai pembelajaran konvensional.

Jika kita berbicara tentang pembelajaran yang konvensional, maka akan terasimilasi pada pembelajaran yang negatif, dalam arti sebaiknya tidak dilakukan lagi. Jika kita bertanya kepada seorang guru atas pilihannya antara Pakem dan pembelajaran yang konvensional tadi, maka dapat dipastikan jawabannya akan memilih Pakem, meskipun nyata-nyata dalam keseharian di sekolah, guru tersebut mempraktekkan pembelajaran yang konvensional tadi. Jika kita kembali menanyakan tentang "keengganannya" mengaplikasikan Pakem, maka dapat saja dia mengatakan bahwa tanpa Pakem pun pembelajaran dapat terlaksana dan lebih mudah pelaksanaannya.

Bukan karena ketidaktahuan mereka terhadap aplikasi Pakem di kelas, tapi lebih disebabkan unsur mudah dan sukarnya pembelajaran itu diterapkan. Lalu, mengapa pembelajaran yang "konvensional" tadi mudah diterapkan dan Pakem terasa sangat sulit untuk diaplikasikan? Sesuatu yang selalu atau berulang-ulang kita lakukan pastilah akan terasa mudah bagi kita untuk mengerjakannya. Hal ini pulalah yang terjadi pada pembelajaran yang dikatakan konvensional tadi. Hampir setiap hari guru melakukan pembelajaran dengan teknik dan metode yang begitu-begitu saja, maka terasa kemudahan dalam penerapannya. Sedangkan Pakem, mendengarnya saja mungkin ada di antara guru kita yang sudah membayangkan kesulitan yang dihadapi nantinya di kelas.

Jika kita kembali untuk mengamati secara lebih teliti pembelajaran yang selama ini menjadi kegandrungan guru dalam menerapkannya, maka akan membuat kita bertanya-tanya, dimana fungsi didaktik dan metodik yang selama ini kita sebagai guru telah fahami dalam pendidikan keguruan, karena tanpa unsur didaktik dan metodik sekalipun pembelajaran konvensional tadi dapat terlaksana. Jika demikian, pada akhirnya akan kita sepakati bahwa meski bukan seorang guru sekalipun pembelajaran yang konvensional tadi, akan dapat terlaksana. Lalu, dimana profesionalitas kita sebagai guru? Kemana kemampuan lebih kita dalam proses pembelajaran dibanding yang bukan guru? Apa hanya dengan memikirkan mudah dan sukarnya penerapan itu, kita korbankan identitas guru kita?

Mari kita tarik benang merah terhadap persoalan di atas. Bahan kita adalah, bahwa Pakem sebenarnya bukanlah pembelajaran yang benar-benar baru bagi guru. Sejak dalam penggodokan di sekolah keguruan kita telah menerima berbagai kiat dalam menggairahkan suasana kelas sehingga siswa belajar atau kemauannya sendiri dan pada akhirnya pengetahuan yang diperolehnya akan bertahan lama. Selain itu, guru tentu lebih banyak tahu teknik dalam menggairahkan siswa dalam proses pembelajaran. Hanya dengan sedikit berpikir (sesuatu yang harus selalu ada pada diri guru) mereka akan mampu menemukan sinkronisasi antara materi yang akan diajarkan dengan teknik yang menggairahkan siswa (Pakem). Lalu, bagaimana kita dapat menerima tantangan bahwa teknik konvensional tadi lebih mudah? Gampang! Jadikan Pakem menjadi pembelajaran yang konvensional, maka jadilah dia (Pakem) itu mudah dilaksanakan. Mulailah hari ini kita terapkan Pakem di kelas kita. Sulit? Bulatkan tekad kita untuk menjadi guru yang benar-benar guru, sehingga kesulitan yang memang biasa dialami jika awal kita melaksanakan tidak akan terasa. Esok hari dan seterusnya, Pakem menjadi pilihan utama kita dalam pembelajaran di kelas, maka jadilah Pakem sebagai pembelajaran yang Konvensional.

Pakem sebagai pembelajaran konvensional tentu saja tidak lagi terkesan negatif, justru akan lebih baik. Pakem dianggap oleh guru sebagai pembelajaran yang mudah direalisasikan dalam pembelajaran di kelas bahkan setiap hari sekalipun. Pakem sebenarnya meneguhkan identitas kita sebagai guru. Seorang guru harus mampu memilih atau berkreasi sendiri atas metode yang akan dilaksanakan sehingga proses trasfer pengetahuan berjalan dengan baik. Guru harus mampu memanfaatkan atau membuat sendiri peraga yang akan digunakan dalam proses pembelajaran demi perhatian siswa dan lebih memudahkan konsep materi yang akan ditransfer. Guru harus mampu mengelola kelas agar bergairah dan menyenangkan siswa. Kesemua kemampuan itu tentu saja hanya dapat dipunyai dan diaplikasikan oleh seorang guru. Oleh karena itu mari kita mantapkan identitas kita sebagai guru dengan mengaplikasikan Pakem sebagai pembelajaran konvensional yang kita gandrungi. Sekian

http://re-searchengines.com/syukur1208.html

E-Learning Belum Bisa Gantikan Sistem Kelas

E-Learning Belum Bisa Gantikan Sistem Kelas
Wednesday, November 05, 2008 22:09:00
Rabu, 05 2008 22:09 WIB

E-Learning Belum Bisa Gantikan Sistem Kelas

SURABAYA--MI: E-learning atau pembelajaran virtual masih sebatas kebutuhan sekunder semata, sehingga belum mampu menggantikan sistem kelas seutuhnya.

Di Jepang, e-learning hanya berupa alat bantu bagi dosen dan mahasiswa, sehingga belum dapat menggantikan sistem kelas biasa, kata staf pengajar dari Kumamoto University Jepang, Prof.Toshihiro Kita di Surabaya, Rabu.

Menurut dia, e-learning tidak bertujuan mengganti sistem kelas, tapi hanya semacam alat tambahan untuk menyampaikan materi.

Pihaknya mengaku telah melakukan riset mengenai e-learning di universitas, namun tren ini dianggap masih bertahan di era selanjutnya. Bahkan meskipun berbagai model e-learning telah banyak dikembangkan, namun pembelajaran melalui kelas masih dianggap yang terbaik.

Di universitas Kumamoto sendiri, katanya, baru sekitar sepuluh persen dari jumlah pengajarnya yang sudah memanfaatkan konsep ini. Namun jumlah ini tidak menunjukkan rendahnya penggunaan kelas virtual di kampusnya.

Bagaimana pun, ujarnya, penggunaan e-learning di tingkat mahasiswa dirasakan sangat perlu. Nanti akan terjadi timbal balik. Jika mahasiswa banyak yang menggunakan e-learning, para dosen juga akan terdorong untuk memakainya, katanya.

Sementara itu, staf pengajar Teknik Elektro ITS, Prof.Dr.Ir Achmad Jazidie M.Eng berharap agar e-learning ini segera dapat diterapkan di ITS. Namun sebelum penerapan secara global, ITS harus menyiapkan satu badan khusus yang akan mengelola e-learning ini.

Menurut dia, hal ini tidak sulit dilakukan mengingat ITS sudah mempunyai P3AI (Pusat Pengembangan Pendidikan dan Aktivitas Instruksional). Sekarang P3AI ini yang bertanggung jawab untuk learning process, mungkin e-learning ini kelak masuk di bawahnya, katanya. (Ant/OL-03)

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDE3NzY=

Proses Pembelajaran di Kelas (Sebuah Realita)

Proses Pembelajaran di Kelas (Sebuah Realita)


Oleh
Ni Made Suciani


Memasuki minggu pertama hari efektif sekolah, para siswa baik siswa lama maupun baru di sebuah sekolah akan banyak bertemu dengan hal-hal baru seperti guru baru, pelajaran baru, buku baru dan lain sebagainya. Banyak di antara mereka berharap bahwa guru baru yang mengajar mereka memiliki cara mengajar yang menyenangkan, sehingga mereka menjadi senang dengan pelajaran tersebut. Banyak sekali harapan-harapan mereka ketika baru pertama kali memasuki masa belajar, terutama bagi siswa yang memiliki minat tinggi dalam belajar. Tetapi di balik semua itu pernahkah sekolah memikirkan hal-hal seperti itu? Karena sesungguhnya bagaimanapun promosi terhadap sebuah sekolah, tidak akan ada artinya selama proses belajar mengajar tidak mampu menciptakan suasana yang menyenangkan bagi siswa. Seperti misalnya ketika KBK dimunculkan para guru memberikan tugas kepada siswa untuk belajar sendiri melalui buku yang telah diberikan dengan cara meringkas, tetapi setelah usaha yang dilakukan siswa tersebut dengan susah payah tidak mendapat umpan balik dari gurunya. Lama kelamaan siswa menjadi bosan belajar, sehingga dapat menimbulkan frustasi anak dalam belajar. Terkadang ada juga guru yang menceramahi siswanya dari awal sampai akhir tanpa memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan ide dan kemampuan siswa itu sendiri.
Penjaminan kualitas sebuah sekolah sangat ditentukan oleh bagaimana proses belajar mengajar yang terjadi didalamnya. Tetapi hal ini tidak pernah disadari oleh masyarakat pada umumnya. Mereka hanya melihat sebuah sekolah dari sisi input dan outputnya. Jika sebuah sekolah mampu mendapatkan siswa yang kemampuan akademisnya menengah ke atas, serta menghasilkan anak-anak yang memiliki Nilai Ujian Nasional di atas rata-rata maka mereka akan menilai bahwa sekolah tersebut berkualitas. Ibarat sebuah perusahaan yang memilah-milah produknya sebelum dipasarkan antara yang cacat dan yang bagus, perusahaan tersebut mempertahankan mutunya dengan melihat produknya. Tetapi pekerjaan seperti itu sangat sedikit kontribusinya terhadap peningkatan kualitas perusahaannya, karena hanya dengan menyortir produknya di samping memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, kegiatan itu tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kualitas perusahaan.
Begitu pula dalam dunia pendidikan di sekolah. Apapun kemasan kurikulumnya, sesungguhnya yang menjadi pusat keinginan pemerintah adalah ingin meningkatkan proses pembelajaran di kelas. Seperti halnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sekarang ini yang sesungguhnya merupakan embrio dari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Salah satu tujuannya adalah bagaimana sebuah konsep dari suatu materi pelajaran dapat diajarkan kepada siswa, agar siswa kompeten terhadap konsep dan materi tersebut. Salah satu cara sederhana untuk melihat apakah siswa sudah kompeten dengan apa yang diajarkan oleh guru atau tidak adalah dengan melihat siswa mampu menjawab pertanyaan tentang materi yang diajarkan ketika berselang waktu sebulan, setahun bahkan sampai bertahun-tahun. Maka siswa dapat dikatakan kompeten. Hal ini hanya akan dapat tercapai jika siswa diberikan proses pembelajaran yang tepat yaitu mulai dari penanaman konsep yang baik sampai dengan pembinaan keterampilan yang optimal.
Hal inilah yang perlu mendapat perhatian khusus dari sekolah, jika ingin meningkatkan kualitas sekolahnya. Dari tingkat manajemen, sekolah seharusnya memperhatikan aktivitas apa yang seharusnya dilakukan oleh guru dalam mempersiapkan proses pembelajaran di kelas. Hal ini biasanya dapat dilihat pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh gurunya di mana di dalamnya terdapat langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Pada kegiatan awal ini seharusnya guru melakukan penggalian informasi terhadap pengatahuan yang dimiliki oleh siswa terhadap materi yang akan dipelajari. Selain itu yang terpenting adalah guru mampu membuka alam fikiran siswa untuk masuk ke materi dengan memberikan cerita atau contoh-contoh kejadian nyata yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang merupakan manfaat dari belajar tentang materi yang akan dibahas. Dengan demikian muncul ketertarikan siswa dalam belajar. Pada kegiatan inti, seharusnya dibuat scenario bagaimana pengalaman belajar siswa yang akan diperoleh di kelas, sehingga pengalaman itu akan melekat selama hidupnya yang menyebabkan ia kompeten terhadap materi yang diajarkan oleh guru. Sedangkan pada kegiatan akhir harus dilakukan penarikan kesimpulan bersama-sama serta tanya jawab untuk meyakinkan apakah materi yang sudah diajarkan dapat dikuasai oleh siswa atau belum. Sebenarnya ketiga kegiatan ini sudah tidak asing lagi bagi para guru, tetapi dalam pelaksanannya masih jarang guru mempraktekkannya. Sehingga itu hanya menjadi sebuah teori belaka. Oleh karena itu bagaimana siswa dapat kompeten terhadap materi yang diberikan, karena guru sendiri dalam menjalankan aktivitasnya hanya sebatas teori saja. Guru banyak yang tidak mengaktualkan segala teori dan strategi dari proses belajar mengajar yang telah diketahuinya.
Selain itu sekolah juga harus memberi perhatian dan memfasilitasi guru dalam pengadaan media atau alat peraga yang mereka butuhkan dalam mengajar sesuai dengan skenario yang dibuat di dalam kelas. Di samping itu sekolah hendaknya memberikan penghargaan secara finansial kepada guru yang telah berbuat demikian, karena ini akan memberikan dampak positif kepada guru-guru yang lain. Seperti penulis amati di Malaysia, sebelum pembelajaran dimulai di sebuah TK, ketika para murid belum datang, sudah ada dua orang guru di dalam kelas yang sedang mempersiapkan alat/media pembelajaran dan mendesain ruangan sesuai materi yang akan diajarkan. Dan kegiatan ini berlangsung setiap hari, jadi bukan karena kebetulan. Nah, kapankah hal itu akan terjadi di negara kita, sehingga kita akan mampu mengejar ketinggalan dalam pendidikan dibandingkan dengan negara yang pernah menjadi murid dari negara kita?
Pada tingkat akademis kepala sekolah seharusnya melakukan supervisi kepada gurunya dalam proses pembelajaran di kelas. Sudah tentu supervisi ini harus disosialisasikan sebelumnya kepada para guru agar guru dapat memahami bahwa supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah tujuannya untuk memperbaiki proses pembelajaran. Karena bagaimana proses belajar mengajar dapat ditingkatkan kualitasnya apabila tidak pernah dilakukan supervisi terhadapnya. Apabila kepala sekolah karena kesibukannya tidak dapat melaksanakan tugas tersebut, sebaiknya dibentuk tim di sekolah atau kelompok guru serumpun yang saling dapat mensupervisi temannya. Fenomena yang terjadi sekarang ini adalah pada umumnya guru tidak suka diamati kalau sedang mengajar, karena mereka menganggap sedang dimata-matai. Padahal inilah sebuah proses untuk dapat dilakukan penjaminan terhadap mutu pendidikan di sebuah sekolah. Untuk tingkat sekolah yang seharusnya melakukan supervisi adalah pengawas sekolah. Sepatutnya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota memberdayakan para pengawas agar melakukan tugasnya secara optimal sehingga tercipta iklim yang saling mendukung dalam mewujudkan kualitas pembelajaran.


Penulis
Ni Made Suciani
Widyaiswara LPMP Bali

http://sucianimade.blogspot.com/2009/02/artikel-proses-pembelajaran-di-kelas.html

Pengelolaan Pembelajaran Tutor Sebaya

Pengelolaan Pembelajaran Tutor Sebaya
Tutor sebaya dikenal dengan pembelajaran teman sebaya atau antar peserta didik, hal ini bisa terjadi ketika peserta didik yang lebih mampu menyelesaikan pekerjaannya sendiri dan kemudian membantu peserta didik lain yang kurang mampu.
Alternatifnya, waktu khusus tiap harinya harus dialokasikan agar peserta didik saling membantu belajar matematika , bahasa atau pelajaran lainnya, baik satu-satu atau dalam kelompok kecil. Tutor Sebaya merupakan salah satu strategi pembelajaran untuk membantu memenuhi kebutuhan peserta didik. Ini merupakan pendekatan kooperatif bukan kompetitif. Rasa saling menghargai dan mengerti dibina di antara peserta didik yang bekerja bersama.
Tutor sebaya akan merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari pengalamannya. Hal ini membantu memperkuat apa yang telah dipelajari dan diperoleh atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Ketika mereka belajar dengan “tutor sebaya”, peserta didik juga mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna. Penjelasan tutor sebaya kepada temannya lebih memungkinkan berhasil dibandingkan guru. Peserta didik melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab.
Peran Tutor Sebaya dalam Membaca
Dalam membaca, pengajaran tutor sebaya sering digunakan untuk membantu pembaca yang lambat atau untuk memberikan tambahan membaca bagi semua peserta didik lebih muda.
Manfaat peran tutor sebaya :
• Memberikan pengaruh positif, baik dalam pendidikan dan sosial pada guru, dan tutor sebaya.
• Merupakan cara praktis untuk membantu secara individu dalam membaca
• Pencapaian kemampuan membaca dengan bantuan tutor sebaya hasilnya bisa menjadi di luar dugaan (lebih baik).
• Jumlah waktu yang dibutuhkan peserta didik untuk membaca akan meningkat
Dengan strategi ini. pembaca yang lemah mengambil manfaat dari perhatian yang tak terbagi. Guru sering tidak punya cukup waktu untuk memberikan bantuan individu seperti ini kepada tiap peserta didik. Namun, ini harus dijelaskan dengan seksama kepada tutor sebaya apa yang harus mereka lakukan. Tutor harus mengetahui harapan kepada mereka.
Tutor harus bekerja dengan peserta didik yang lebih muda dengan cara yang tenang, ramah, jujur, dan terhindar dari gangguan. Berikut ini contoh teknik strategi tutor sebaya dalam membaca, antara lain:
Teknik membaca berpasangan. Teknik ini berdasarkan pada membaca yang:
a) mengambil alternatif membaca nyaring bersama oleh tutor sebaya dan peserta didik, kemudian peserta didik membaca sendiri, dan
b) menggunakan komentar positif untuk memperkuat membaca yang benar dan mandiri.
Melatih tutor sebaya, melalui:
• memperkenalkan buku yang menarik minat baca;
• menunda koreksi kesalahan dengan memberi kesempatan peserta didik selesai mencoba mengoreksinya sendiri;
• mendiskusikan materi bacaan setelah dibaca; dan
• mengecek kinerjanya sendiri sebagai guru, dan kemajuan teman sebaya dengan melengkapi kartu laporan melalui ceklis.
Diupayakan materi bacaan sudah dikenal, sederhana dengan jenis ukuran tulisan yang cukup besar agar mudah dibaca.
Sumber : www.idp-europe.org/toolkit

Menelisik Konsep Standar Penilaian Pendidikan

Menelisik Konsep Standar Penilaian Pendidikan
Kamis, 28 Agustus 2008 00:00

TUGAS pokok guru dalam pembelajaran meliputi pembuat-an perencanaan pembelajaran, melaksanakan proses belajar mengajar dan melaksanakan proses penilaian hasil belajar. Agar guru tidak mengalami kebingungan dalam melaksanakan aktivitas penilaian, maka sudah seharusnya komunitas guru memahami isi pedoman standar penilaian pendidikan.
Dalam rangka mengendalikan mutu hasil pendidikan sesuai standar nasional pendidikan yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maka menteri Pendidikan Nasional menetapkan pera-turan tentang standar penilaian pendidikan. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 20 Tahun 2007 yang dimaksud standar penilaian pendidikan merupakan standar nasional yang berkaitan dengan mereka dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Penilaian pendidikan dimaknai sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugsan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Teknik tes berupa tes tertulis, lisan dan praktik atau tes kinerja. Sedang teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan di luar kegiatan pembelajaran.
Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan (sekolah), dan pemerintah. Dari dasar ini, maka ada bermacam-macam tes ulangan baik ulangan harian, tengah semester, akhir semester, ulangan kenaikan kelas (pada semester genap), ujian sekolah dan ujian nasional.
Ulangan harian dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu kompetensi dasar (KD) atau lebih. Ulangan tengah semester dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8-9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan ini meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan seluruh KD pada periode tersebut. Ulangan akhir semester dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan ini meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan semua KD semester tersebut.
Ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan seluruh indikator yang mempresentasikan KD pada semester tersebut. Ujian sekolah/madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan.
Ujian Nasional (UN) merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Dari dasar ini, meskipun UN dihujat oleh kalangan yang tidak setuju, sepanjang permendiknas ini belum di cabut tampaknya UN tetap akan dijalankan pemerintah.
Untuk tingkat sekolah, peserta didik dapat dinyatakan tuntas atau lulus bila telah mencapai kriteria ketuntasan minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan. Ini berarti ketuntasan suatu sekolah dengan sekolah lain berbeda, mengingat latar belakang, ketersediaan sarana, sumber daya manusia antara sekolah tersebut memang berbeda-beda.

Tidak Usah Bingung
Menyikapi aneka macam ula-ngan dan ujian, guru tidak usah bingung. Kesemuanya telah ada rambu-rambu aturan yang harus diikuti. Selama guru telah memiliki program kapan ula-ngan harian, dan sekolah telah memprogram ulangan tengah semester, akhir semester, dan kenaikan kelas, pelaksanaannya tidak akan mengalami kesulitan. Yang menjadi persoalannya, sudahkah semua guru memiliki perencanaan kapan ulangan harian dilaksanakan ? Demikian pula sekolah memiliki agenda jelas tentang ulangan-ulangan tersebut ?
Khusus kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah yang diatur dalam prosedur operasional standar (POS) UN. UN ini dilaksanakan oleh BSNP dengan instansi terkait. Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Selama ini pemerintah selalu menekankan peningkatan mutu pendidikan dan salah satu cara memotret kualitas tersebut melalui UN ini. UN juga dijadikan sarana pemetaan kualitas pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Akibat hasil UN dijadikan salah satu penentuan kelulusan, maka mayoritas sedih dan ketakutan setiap menjelang UN dilaksanakan. Wujud kebingungan orangtua dan sekolah tampak pada orangtua yang tidak segan-segan merogoh kantongnya yang tebal untuk memasukkan putra-putrinya ke berbagai bimbingan belajar. Untuk menyongsong kesuksesan UN biasanya sekolah telah memiliki agenda khusus penambahan jam pelajaran, latihan soal-soal UN dan aneka kegiatan rohani yang harapannya peserta UN tidak stres dan memiliki kepercayaan diri secara mantap dan berujung akhir siswa-siswi berhasil secara gemilang. Amin! (*/ida)
*Oleh :
Sarbun Hadi Sugiarto
Guru SMP 1 Ungaran
Jalan Progo 26, Putatan,
Sidomulyo, Ungaran.

http://www.radarsemarang.com/community/artikel-untukmu-guruku/1051-menelisik-konsep-standar-penilaian-pendidikan.html

Guru Menuju Perubahan

Guru Menuju Perubahan
30 Januari 2009 195 views One Comment
Bila kita teringat sejarah dunia di mana pada saat Perang Dunia II, setelah Nagasaki dan Hiroshima di bom oleh sekutu, langkah pertama yang ditempuh pemerintah Jepang, mendata kembali berapa jumlah guru dan dokter yang tersisa. Mereka mulai membangun negara yang porak-poranda dari bidang pendidikan dan kesehatan. Hasilnya sangat menakjubkan. Setelah kurang lebih 20 tahun, dengan kerja keras yang tak kenal lelah, Jepang mempu mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya. Lahirlah kekuatan baru di kawasan Asia saat itu. Untuk bidang pendidikan di kawasan Asia, Jepang juga sebagai negara terbaik, di samping India, Korea Selatan dan Singapura.
Kisah nyata itu menyadarkan kita, betapa besar peran guru dalam membangun suatu bangsa. Ironisnya, di negara kita tercinta, profesi guru dan peran guru, kurang diperhitungkan. Malah cenderung dikesampingkan. Pada masa rezim Orde Baru profesi guru malah identik dengan kemiskinan, dan ketidakberdayaan, kelompok masyarakat yang tahan lapar, dan selalu cicerca dan dipuja. Profesi guru tidak membanggakan.
Guru adalah input pelarian dari anak orang miskin yang tidak berkecukupan, karena kehidupan yang jauh dari cukup sebuah keluarga, sehingga anaknya dimasukan ke sekolah guru. Potret Oemar Bakri seperti dikiaskan dalam sebuah lagu Iwan Fals yang jauh dari pantas. Dalam masa itu, kelompok Guru tidak lebih dari sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Guru tidak lebih sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Untuk membius kelompok ini, regim berkuasa saat itu, menganugerahkan gelar ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dalam sebuah bait lagu.
Citra guru yang terbentuk di dalam dirinya sampai saat ini, menurut saya, bukanlah sosok berdasi, intelektual ulung dalam menyiapkan masa depan, tetapi sekedar sebagai pekerja penjual suara yang kerja kesehariannya berangkat subuh pulang malam, tetapi kering finansial. Praktis, citra guru teredusir sedemikian rupa di balik keagungan harapan yang meluap. Permasalahannya: bagaimana kita dapat membangun citra kita sendiri sebagai guru, agar peran dan profesionalitas kita terpenuhi?
UU Nomor 14 sudah disyahkan dan saat ini, apresiasi masyarakat semakin tinggi terhadap Guru, Pemerintah semakin sungguh-sungguh berupaya mensejahterakan Guru, media massa semakin gencar memberitakan tentang kinerja guru. Dari segi kemampuan ekonomis, guru tidak lagi dipandang sekedar sebagai pekerjaan yang tidak menjadi perhatian orang. Pergi pagi pulang petang pendapatan pas-pasan (P4).
Bagaimana dengan kita sendiri sebagai pelaku utama pendidikan, Penggerak pendidikan, Pemegang kendali pendidikan, Pencerdas anak bangsa, yang dalam UU Dosen dan Guru disebut tenaga profesional. Sama dengan dokter, Pengacara dan lain-lain?
Banyak pernyataan kritis sering kita dengar, kita lihat, dan kita baca menyangkut eksistensi, kompetensi, dan kinerja kita sebagai tenaga profesional memang masih memprihatinkan.
Kenyataan rendahnya kompetensi, etos kerja, dan kinerja guru, seperti dikemukakan oleh Fasli Djalal, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan menyebutkan hampir separuh dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar di sekolah. 75.648 di antaranya guru SMA. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional dan guru kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pernyataan yang merujuk pada rendahnya kompetensi dan etos kerja guru itu juga pernah diungkapkan oleh menteri pendidikan pada masa itu Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara di TPI tanggal 16 Agustus. Dalam wawancara itu Ia mengemukakan hanya 43 persen guru yang memenuhi syarat, artinya sebagian besar guru (57 persen) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional untuk melaksanakan tugasnya. Pantaslah kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan dunia kerja. ***
oleh: Isjoni
http://xpresiriau.com/teroka/artikel-tulisan-pendidikan/guru-menuju-perubahan-2/

Citra Guru

Citra Guru
9 Februari 2009 205 views No Comment
Pemerintah berupaya mendongkrak citra guru yang terlanjur pudar bahkan sempat profesinya terabaikan dan dipandang sebelah mata. Dalam dasa warsa terakhir pemerintah terus menerus untuk mencari terobosan dan alternatif baru untuk memperbaiki mutu pendidikan. Di mulainya perubahan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, selanjutnya terhadap kurikulum dan sampai kepada penyelenggaraan sertifikasi guru yang merupakan implementasi dari UU Nomor 14 Tahun 2005 yakni mewujudkan guru profesional.
Menjadi guru profesional bukan perkara gampang, ibarat membalikkan telapak tangan. Apalagi untuk menjadi guru baik. Citra guru yang baik, dapat mengangkat citra dan mutu pendidikan.
Mutu pendidikan yang baik, dapat mengangkat martabat bangsa. Tetapi permasalahannya, dari mana harus dimulai? Tentunya akan dimulai dari
(1) komitmen bersama. Untuk mencapai guru profesional harus di mulai dari komitmen bersama, kebersamaan ini diawali dengan keinginan yang sama antara pemerintah, masyarakat, guru itu sendiri, dan anak didik. Komitmen pemerintah dimaksudkan adalah bagaimana program pemerintah memberikan alokasi dana untuk guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik guru, karena hampir 1,6 juta guru yang belum layak menjadi guru, dan ini akan berpengaruh terhadap upaya menciptakan guru profesional.
Masyarakat juga memiliki peran dan andil untuk dapat memberikan nuasa ketenangan bagi guru agar guru dapat tenang menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, dan jangan justeru dicerca dan dijadikan komoditas informasi untuk disebarluaskan, akan tetapi masyarakat dapat duduk semeja dengan guru, sehingga sinergi terbangun, dan guru senantiasa akan meningkatkan progesionalnya.
(2) Guru sendiri. Untuk memperbaiki citra guru, mereka harus berani mengevaluasi dan mengkoreksi diri. Guru profesional itu, guru yang mengenal dirinya. Dirinya sebagai pribadi yang terpanggil untuk mendidik manusia, untuk menjadi guru merupakan panggilan hati. Untuk itu, guru dituntut untuk belajar sepanjang hayat (long life education).
Medan belajar adalah medan yang menyenangkan. Menjadi guru bukan hanya sebuah proses yang harus dilalui melalui test kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati. Maka mengajar harusnya menjadi profesi hati. Hati harus mendapat perhatian cukup, yaitu pemurnian hati, atau motivasi untuk menjadi guru profesional. Pemurnian hati itu, akan mendorong kita senantiasa meningkatkan kemampuan untuk membelajarkan siswa.
Paling tidak ada 4 kata kunci yang menjadikan guru itu menjadi penting. Tiga kata kunci itu sekaligus menjadi sifat dan karakteristik guru: kreatif, inovatif, profesional dan menyenangkan. Mengapa guru harus kreatif ? Karena harus memilah dan memilih materi pembelajaran. Dan kemudian secara kreatif menyajikan menjadi bahan pembelajaran yang yang penuh makna, dan bermutu.
Mengapa harus inovatif ? Karena guru harus senantiasa menemukan hal-hal yang baru, sehingga dapat merubah wawasan cakrawala dan daya imajinatif anak didiknya. Sedang sifat profesional, karena guru harus secara profesional membentuk kompetensinya sesuai dengan karakter peserta didik. Juga bagi dirinya. Berarti belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok guru.
Tetapi guru juga harus menyenangkan. Baik bagi dirinya sendiri maupun bagi peserta didik. Menjadi guru kreatif, profesional, dan menyenangkan itu akan terwujud, jika si guru mau secara terus-menerus meningkatkan kemampuan dan ketrampilan. Mau belajar, melalui lihat, dengar dan membaca.
(3). Meningkatkan Pengetahuan dan Ketrampilan. Guru sebagai profesional (sama dengan profesi dokter, pengacara, sekretaris, dan lain-lain), tanggungjawab utamanya mengawal perkembangan pribadi siswa. Peran pendampingan itu tidak mungkin akan berhasil jika guru tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang profesioanal. Guru profesional biasanya memiliki hal-hal seperti ini: (a) Penguasaan terhadap pengetahuan dan ketrampilan, (b) Memiliki kemampuan profesional di atas rata-rata, (c) Idealisme, (d) pengabdian yang tinggi, dan (e) Pantas secara moral dan perilaku menjadi panutan.(***)
http://xpresiriau.com/teroka/artikel-tulisan-pendidikan/mengangkat-citra-guru-2/

Mengapa Evaluasi?

Mengapa Evaluasi?
11 Januari 2009 190 views One Comment
Evaluasi di dalam dunia pendidikan khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan unsur penting yang harus diketahui oleh seorang guru. Evaluasi merupakan satu rangkaian dari suatu proses pembelajaran yang tidak boleh ditingalkan oleh guru, sehingga evaluasi dapat dijadikan indikator terhadap suatu keberhasilan suatu pembelajaran yang telah dilaksanakan guru.
Perwujudan pola pembelajaran dan pendidikan demokratis dapat dimulai dengan mengubah salah satu komponen penting pendidikan, yakni evaluasi. Evaluasi tidak cukup lagi hanya menagih daya ingat, tetapi harus juga menggali bagaimana anak berproses dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Demikian pandangan pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof Dr Anah Suhaenah, mengatakan bahwa pendidikan dan pembelajaran selama ini dinilai kurang demokratis. Peserta didik tidak diberi ruang untuk berimajinasi dan berkreasi. Peserta didik cenderung hanya menjadi obyek dan diposisikan tidak tahu apa-apa sehingga harus dijejali sesuai kemauan guru.
Selanjutnya Prof. Anah berpandangan, berbagai metode pembelajaran yang menekankan kreativitas dan kritis, seperti cara belajar siswa aktif atau problem base learning, sulit berhasil karena cara evaluasinya belum sesuai di lapangan. Selama ini anak cenderung ditagih daya ingatnya. Alhasil, guru pun sibuk memberikan berbagai masukan yang harus dihafalkan. Murid tidak pernah diajar untuk belajar, tetapi cenderung berlatih menjawab tes.
Dalam suatu pembelajaran yang diperlukan adalah evaluasi untuk melihat bagaimana anak berproses. Tagihan tersebut terkait kreativitas, praktik, dan evaluasi menggunakan portofolio untuk melihat hasil kerja siswa, bukan yang diingat siswa.
“Kalau ingin anak-anak lebih kreatif, misalnya, tidak perlu soal pilihan ganda. Tes lebih ditekankan pada mengembangkan materi yang diterima di kelas. Berikan satu kata untuk dijadikan satu karangan atau satu bentuk untuk dijadikan gambar utuh. Intinya, membangun sesuatu dengan bahan terbatas dan eksplorasi,” katanya. Dia mengakui, perubahan model evaluasi tidak otomatis mengubah wajah pendidikan di dalam kelas, tetapi paling tidak akan sangat memengaruhi suasana pendidikan. Sebab, sistem evaluasi merupakan komponen penting dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Agar dapat mengevaluasi potensi anak didiknya dengan tepat, guru perlu dibebaskan dari beban yang terlalu berat. Selama ini, misalnya, satu guru mengajar 40 murid sehingga sukar berinteraksi dengan anak didiknya. Untuk itu, guru perlu diberikan otonomi dan tentunya dengan standardisasi.
Apa yang dikatakan oleh Prof Anah Suhaenah sejalan seperti dikatakan Kepala Pusat Penataran dan Pengembangan Guru Terpadu (P3GT) Bandung Abdorrakhman Gintings menambahkan, selama ini bukan tidak ada upaya agar suasana kelas lebih demokratis. Upaya yang dilakukan antara lain memberikan pelatihan berbagai metode pembelajaran kepada guru sehingga nantinya pola kekuasaan di kelas juga berubah.
Untuk penataran guru, misalnya, saat ini diadakan apa yang disebut PAKEM atau pendidikan, aktif, kreatif, dan menyenangkan. Yang diajarkan adalah metodologi mengajar interaktif dan menyenangkan.
Banyak teori yang dicurahkan kepada para guru, tetapi setelah selesai pelatihan dan guru ingin menerapkannya di sekolah, justru dianggap keluar jalur.
. Dia memandang perlu gerakan massal dan intensif tentang demokratisasi dalam pendidikan, mulai dari guru, sekolah, hingga instansi pemerintah terkait. Hal itu dapat dimulai dengan teladan perilaku para pemimpin, Sebaik apa pun metodologi yang digunakan, kalau kita tak siap akan sisa-sia.
Oleh karena itu, pendidikan yang demokratis itu salah satunya mendasarkan pada faham humanisme. Secara umum, humanisme terkait dengan kebebasan dan otonomi. Prinsip-prinsip para humanis menekankan pentingnya kebutuhan manusia secara individual. Individu memiliki dorongan terhadap aktualisasi diri dan tanggung jawab pada diri sendiri maupun orang lain.***
http://xpresiriau.com/teroka/artikel-tulisan-pendidikan/mengapa-evaluasi/

Penilaian Mutlak Dilakukan Guru

Penilaian Mutlak Dilakukan Guru
6 Maret 2009 241 views One Comment
Penilaian sangat penting dilakukan oleh guru, karena penilaian itu sendiri bertujuan untuk melihat sejauhmana siswa memahami materi yang sudah diajarkan oleh guru bilamana telah selesai menyajikan materi. Sejauhmana pula guru berhasil dalam suatu proses pembelajaran dan seberapa efektif keberhasilan siswanya dari rencana pengajaran yang disusun oleh guru. Pada akhirnya akan terlihat sejauhmana pula ketuntasan belajar (mastery of learning) guru dalam suatu proses pembelajaran.
Demikian pula dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan penilaian atau penilaian.
Melalui penelaahan pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.
Guru dan fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, maka guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui penilaian ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Banyak guru dan khusus untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan penilaian di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai dibawah standar atau di bawah rata-rata.
Pada mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Kapan waktu pelaksanaan penilaian tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang penting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap siswa di kelas.
Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan penilaian di akhir pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang berhubungan dengan materi tersebut.
Ada juga guru yang berpendapat, bahwa penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru tidak usah bersusah payah mengoreksi hasil penilaian anak.
Tetapi kegiatan ini mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa gugupnya itu.
Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang berhubungan dengan materi pelajaran itu.
Cara mana yang akan digunakan oleh guru untuk penilaian tidak usah dipermasalahkan, yang jelas setiap guru yang paham dengan tujuan dan manfaat dari penilaian atau penilaian tersebut. Karena ada juga guru yang tidak menghiraukan tentang kegiatan ini, yang penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan penilaian di akhir pelajaran atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum.
Akhir-akhir ini kalau kita teliti di lapangan, banyak guru yang mengalami kegagalan dalam melaksanakan penilaian di akhir pelajaran. Hal ini tentu ada faktor penyebabnya dan apakah cara untuk mengatasinya. Atas dasar ini, faktor yang paling penting dalam penilaian itu bukan pada pemberian angka. Melainkan sebagai dasar feed back (catu balik). Catu balik itu sendiri sangat penting dalam rangka revisi. Sebab proses belajar mengajar itu kontinyu, karenanya perlu selalu melakukan penyempurnaan dalam rangkan mengoptimalkan pencapaian tujuan.
Bila penilaian merupakan catu balik sebagai dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan penilaian harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dilakukan penilaian (formatif). Sebaliknya bila penilaian hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) catu balik tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi.
Oleh karena itu, agar penilaian memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian penilaian sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas. Maka dari itu, kegiatan penilaian mutlak dilakukan oleh guru, dengan kontinuitas dilakukan akan dapat memberi gambaran terhadap keberhasilan guru dalam mengajar dan keberhasilan siswa dalam belajar. Semoga.***
http://xpresiriau.com/teroka/artikel-tulisan-pendidikan/penilaian-mutlak-dilakukan-guru/

Mutu Pendidikan: Penilaian Hasil Belajar Siswa dan Sertifikasi Guru

Mutu Pendidikan: Penilaian Hasil Belajar Siswa dan Sertifikasi Guru


(Unila): Peranan pendidikan dalam kemajuan suatu bangsa dan masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Karena pendidikan termasuk investasi jangka panjang yang harus selalu ditingkatkan mutunya. Jika mutu pendidikan rendah, akan berdampak pada ketidaktepatan investasi pendidikan, bahkan dapat pula menimbulkan masalah sosial baru ke depannya.

Demikian yang dikatakan Prof. Furqon, Ph.D ketika menyampaikan makalahnya dalam Seminar Nasional Pendidikan di Gedung Serba Guna (GSG) Universitas Lampung (Unila), Sabtu (26/1).

Furqon mengatakan, untuk meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan selain dengan meningkatkan kualitas pengajar melalui sertifikasi guru, juga dapat dilakukan melalui penilaian hasil belajar siswa. Sehingga visi pendidikan di Indonesia yaitu Iman, Takwa, Cerdas, dan Kompetitif dapat segera diwujudkan.

Lebih lanjut, Furqon menjelaskan cara-cara penilaian hasil belajar. Yang pertama melalui penilaian kelas. Penilaian kelas yang baik adalah yang mampu memberi informasi pada guru untuk meningkatkan efektivitas mengajarnya. “Serta mampu memotivasi siswa dalam belajar, dan mendorong siswa agar mandiri,” kata Furqon yang merupakan Guru Besar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Biasanya, tambah Furqon. Kesalahan yang sering dilakukan guru atau dosen dalam hal penilaian kelas adalah feedback. Ini dilakukan dengan mengembalikan berkas tugas dan ujian kepada siswa. Sehingga peserta didik akan mendapat informasi tentang kelemahan dan kekurangannya dalam belajar.

Kedua yaitu kenaikan kelas. Kenaikan kelas dilakukan untuk membedakan siswa yang telah memenuhi standar kemampuan minimal. Sekolah-sekolah biasanya punya standar yang berbeda-beda untuk kenaikan kelas siswanya.

Dan yang ketiga adalah ujian akhir satuan pendidikan. “Dalam sejarahnya, di Indonesia telah empat kali mengganti penyelenggraan ujian akhir sekolah,” kata Furqon. Ujian Negara diselenggarakan sejak kemerdekaan sampai tahun 1970-an, kemudian diganti dengan Ujian Sekolah sampai tahun 1979. Dari tahun 1980 sampai 2000 dilakukan dengan sistem Ebtanas. Dan pada akhirnya diberlakukan sistem Ujian Akhir Negeri (UAN) sampai sekarang.

Selain Furqon, hadir juga sebagai Pemakalah Utama, Prof. Dr. Zamroni. Pada kesempatannya, Zamroni menjelaskan kepada peserta seminar tentang pentingnya peningkatan mutu pendidikan melalui sertifikasi guru. “Kualitas pendidikan Indonesia jauh tertinggal dari negara tetangga, cara mengatasi masalah tersebut salah satunya dengan peningkatan kualitas guru,” ujar Zamroni. [yazid/andhi]

http://www.unila.ac.id/Berita/berita_depan/Mutu-Pendidikan-Penilaian-Hasil-Belajar-Siswa-dan-Sertifikasi-Guru.html

Kamis, 21 Mei 2009

Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca

Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca
Oleh
Heri Abi Burachman Hakim
Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
Saat ini minat baca masih menjadi perkerjaan rumah yang belum terselesaikan bagi bangsa Indonesia. Berbagai program telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Pemerintah, praktisi pendidikan, LSM dan masyarakat yang perduli pada kondisi minat baca saat ini telah melakukan berbagai kegiatan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat untuk membaca, akan tetapi berbagai program tersebut belum memperoleh hasil maksimal
Untuk mewujudkan bangsa berbudaya baca, maka bangsa ini perlu melakukan pembinaan minat baca anak. Pembinaan minat baca anak merupakan langkah awal sekaligus cara yang efektif menuju bangsa berbudaya baca. Masa anak-anak merupakan masa yang tepat untuk menanamkan sebuah kebiasaan, dan kebiasaan ini akan terbawa hingga anak tumbuh dewasa atau menjadi orang tua. Dengan kata lain, apabila sejak kecil seseorang terbiasa membaca maka kebiasaan tersebut akan terbawa hingga dewasa.
Pada usia sekolah dasar, anak mulai dikenalkan dengan hurup, belajar mengeja kata dan kemudian belajar memaknai kata-kata tersebut dalam satu kesatuan kalimat yang memiliki arti. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Setelah anak-anak mampu membaca, anak-anak perlu diberikan bahan bacaan yang menarik sehingga mampu menggugah minat anak untuk membaca buku. Minat baca anak perlu dipupuk dengan menyediakan buku-buku yang menarik dan representatif bagi perkembangan anak sehingga minat membaca tersebut akan membentuk kebiasaan membaca. Apabila kebiasaan membaca telah tertanam pada diri anak maka setelah dewasa anak tersebut akan merasa kehilangan apabila sehari saja tidak membaca. Dari kebiasaan individu ini kemudian akan berkembang menjadi budaya baca masyarakat.
Akan tetapi pembinaan minat baca anak saat ini sering terbentur dengan masalah ketersediaan sarana baca. Tidak semua anak-anak mampu mendapatkan buku yang mampu mengugah minat mereka untuk membaca. Faktor ekonomi atau minimnya kesadaran orang tua untuk menyediakan buku bagi anak menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan buku yang dibutuhkan. Tidak tersedianya sarana baca merupakan masalah besar dalam pembinaan minat baca anak. Anak-anak tidak dapat memanjakan minat bacanya karena tidak tersedia sarana baca yang mampu menggugah minat anak untuk membaca. Padahal pembinaan minat baca anak merupakan modal dasar untuk memperbaiki kondisi minat baca masyarakat saat ini.
Untuk mengatasi masalah ketersedian sarana baca anak dapat dilakukan dengan memanfaatkan eksistensi perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah dapat difungsikan sebagai institusi penyedia sarana baca cuma-cuma bagi anak-anak. Melalui koleksi yang dihimpun perpustakaan, perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca anak.
Tetapi amat disayangkan, perpustakaan sekolah yang dijadikan ujung tombak dalam pembinaan minat baca anak justru dalam kondisi yang memprihatikan. Bahkan saat ini banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan. Data Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengungkapkan bahwa hanya 1% dari 260.000 sekolah dasar negeri yang memiliki perpustakaan (Kompas, 25/7/02). Keadaan ini tentu bertolak balakang dengan Undang-undang nomor 2 pasal 35 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional yang menyatakan bahwa setiap sekolah diwajibkan memiliki perpustakaan. ironis bukan, mana mungkin minat baca anak dapat terbina apabila sekolah tidak memiliki perpustakaan yang menyediakan buku sebagai sarana baca bagi siswa (anak).
Walaupun ada sekolah yang memiliki perpustakaan sekolah, perpustakaan sekolah belum dikelola dengan baik. Hanya sekolah-sekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional.
Banyak perpustakaan sekolah yang pengelolaanya terkesan “yang penting jalan”. Hal ini terlihat dari segi koleksi, sarana perpustakaan serta tenaga pengolola perpustakaan sendiri. Koleksi perpustakaan sebagian besar berisi buku-buku paket sehingga kurang mampu menarik minat siswa untuk mengakses perpustakaan. Sarana dan prasarana perpustakaan yang seadaanya menyebabkan suasana perpustakaan kurang nyaman. Selain itu banyak perpustakaan sekolah yang tidak dikelola oleh tenaga profesional di bidang perpustakaan, perpustakaan dikelola oleh guru pustakawan (guru yang merangkap sebagai pengelola perpustakaan) yang memiliki tanggung jawab utama sebagai pengajar menyebabkan pengelolaan perpustakaan tidak optimal.
Sudah saatnya kondisi perpustakaan sekolah dasar diperbaiki. Perbaikan ini akan mewujudkan berpustakaan sebagai penyedia sarana baca ideal bagi anak-anak. Perbaikan ini akan memotivasi anak-anak untuk berkunjung dan membaca koleksi perpustakaan. Perbaikan yang dapat dilakukan antara lain, Pertama, koleksi perpustakaan terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi koleksinya dengan koleksi audiovisual sehingga tidak memberikan kesan layanan yang monoton.
Kedua, sarana atua perabot perpustakaan perlu dilengkapi, perpustakaan dapat dilengkapi dengan pendingin udara, televisi dan komputer multimedia. Perabotan perpustakaan perlu didesain dan disusun sesuai dengan kondisi fisik anak-anak sehingga dapat memberikan kesan nyaman bagi anak. Ruang perpustakaan juga dapat dicat warna-warni dan dilukis gambar lucu sehingga menghilangkan kesan formil perpustakaan. Dengan perubahan kondisi fisik perpustakaan ini akan memberikan kesan nyaman anak berada diperpustakaan sehingga anak-anak akan rajin datang ke perpustakaan.
Ketiga, masalah SDM perpustakaan juga perlu mendapatkan perhatian. Perpustakaan harus dikelola oleh tenaga yang memiliki keahlian serta berlatar belakang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi. SDM memiliki latar belakang ilmu perpustakaan tentu mengerti bagaimana mengelola serta mengembangkan perpustakaan berdasarkan kaidah ilmu perpustakaan. Memberikan tanggung jawab pegelolaan perpustakaan kepada guru perlu dikaji ulang, guru yang memiliki tugas utama sebagai tenaga pengajar tidak akan mampu maksimal dalam pengembangan perpustakaan karena harus membagi waktunya untuk mengajar. Perpustakaan akan tutup apabila guru tersebut mendapat tugas mengajar. Keadaan semacam ini tentu dapat menghambat proses pembinaan minat baca anak.
Keempat, sebenarnya masalah terbatasan koleksi, sarana perpustakaan serta minimnya SDM perpustakaan disebabkan karena keterbatasan dana. Keterbatasan dana menyebabkan perpusakaan tidak mampu membeli buku, melengkapi sarana perpustakaan serta membayar tenaga profesional untuk mengelola perpustakaan. Sebagai solusinya di perlukan perhatian pemerintah, pengelola sekolah serta peran aktif wali murid. Pemerintah perlu memberikan perhatian bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Perhatian itu dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian dana bantuan pengembangan perpustakaan sekolah, kebijakan yang merangsang perkembangan perpustakaan sekolah serta penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam mengembangkan perpustakaan. Pihak sekolah juga dapat mengoptimalkan keberadaan wali murid yang terhimpun dalam komite sekolah dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Wali murid dapat dimintai bantuan dalam hal pendanaan perpustakaan. Tentunya. Wali murid tidak akan segan mengeluarkan biaya bagi pengembangan sekolah karena manfaatkan perpustakaan akan kembali kepada putra-putri mereka. Selain itu pihak sekolah juga dapat menyusun proposal pengembangan perpustakaan dan mengajukannya ke perusahaan, instansi atau individu yang memiliki perhatiaan dibidang pendidikan, minat baca dan perpustakaan.
Dengan berbagai perbaikan diatas maka perpustakaan akan semakin menarik. Perubahan yang menjadi motivasi bagi siswa untuk mengakses perpustakaan. Apabila perbaikan ini dilakukan dari sekarang maka 10 atau 15 tahun kedepan Indonesia akan menjadi bangsa yang gemar membaca. Dengan demikian berakhir sudah permasalahan minat baca yang seolah-olah menjadi perkejaan rumah yang tidak terselesaikan sampai saat ini.
http://www.heri_abi.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=33

Sarana Baru Pembelajaran di Sekolah

Sarana Baru Pembelajaran di Sekolah
Kamis,24 Des 2003
Kompas
MEMBACA rubrik Kolom 8@9 di harian ini tanggal 15 Desember 2003, sebagai praktisi pendidikan yang terjun langsung di lapangan hati ini terasa trenyuh dan sedih. Memang seperti itulah kondisi riil di lapangan. Apalagi sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah pinggiran, dalam artian geografis maupun kualitas.

Tetapi justru keterbatasan tersebut yang mendorong komponen sekolah untuk selalu berusaha mengatasi segala permasalahan yang muncul meskipun jujur diakui kadang kala keterbatasan tersebut menyebabkan semangat melemah.

Di tengah-tengah keterbatasan tersebut, menyeruak sedikit harapan dalam upaya pengenalan teknologi informasi (TI) dalam proses pembelajaran siswa. Dengan sedikit kreativitas, guru dapat mengoptimalkan fungsi fitur telepon seluler (ponsel) yang disediakan oleh para produsen ponsel dan operator GSM di Indonesia.

Perkembangan teknologi informasi menyebabkan gaya hidup manusia sangat berubah. Ponsel bukan lagi menjadi sebuah simbol status seperti dulu. Survei Siemens Mobile Lifestyle III memberikan hasil yang mencengangkan. Menurut survei tersebut, 60 persen remaja usia 15-19 tahun lebih suka membaca SMS (short messaging service) daripada membaca buku (Kompas, 4 April 2003).

Realitas seperti itu tentu saja harus disikapi secara bijaksana. Tidak perlu risau dengan kondisi seperti itu. Dibutuhkan kelihaian penyelenggara pendidikan untuk justru memanfaatkan realitas tersebut sebagai cara baru dalam proses pembelajaran. Guru, sebagai salah satu komponen pembelajaran, diharapkan mampu menjadi motivator dan dinamisator pada sebuah kelas.

Guru tidak harus menjadi orang paling tahu dan paling benar dalam sebuah kelas seperti selama ini terjadi. Bobbi de Porter dan kawan-kawan (2002: 7) mengibaratkan kelas sebagai sebuah orkestra dan guru adalah konduktor yang membawa peserta didik naik-turun mengikuti irama yang dimainkannya. Keberhasilan proses pembelajaran, masih menurut mereka, sangat dipengaruhi kemampuan guru memasuki dunia siswa dan mengantarkan para siswa memasuki dunia baru yang ingin diajarkan guru, seperti konsep, proses, dan fenomena-fenomena baru.

Aktivitas SMS

Sekitar dua tahun lalu, beberapa sekolah menengah umum (SMU) di daerah harus merevisi tata tertib siswa yang sudah berlaku bertahun-tahun dengan menambahkan item larangan mengaktifkan ponsel di dalam kelas. Penyebabnya adalah dalam tas sekolah mereka tersimpan ponsel yang dibawa dengan tujuan beragam, baik yang bersifat hura-hura (just fun) sampai yang serius.

Jika di daerah saja sudah diberlakukan seperti itu, asumsinya di kota-kota besar kecenderungan penggunaan ponsel jauh lebih awal dan jumlahnya lebih besar. Street polling yang dilakukan Tim MUDA Kompas terhadap 100 remaja SMU di empat kota besar di Indonesia memperkuat hal itu.

Meski menurut mereka data tersebut diakui tidak dapat dipakai sebagai rujukan untuk penelitian atau sejenisnya (Kompas, 4 April 2003:37), dapat digunakan sebagai gambaran kasar betapa lekatnya ponsel dalam kehidupan remaja. Dalam hal frekuensi mengirim SMS, 35 persen melakukan antara 5-10 kali, 51 persen melakukan antara 11-20 kali, dan 14 persen dari mereka melakukan aktivitas pengiriman SMS lebih dari 20 kali sehari.

Yang lebih mencengangkan lagi adalah temuan Siemens Lifestyle Survey di enam negara Asia Tenggara pada remaja usia 15-19 tahun dan pasca-remaja pada golongan usia 20-29 tahun. Di Indonesia 79 persen penduduk sangat merasa kehilangan ketika ponsel mereka tidak ada di sekitarnya, 40 persen orang Indonesia jantungnya berdebar lebih cepat ketika mendengar dering SMS, dan yang lebih menarik lagi 58 persen orang Indonesia lebih suka mengirim dan membaca SMS daripada membaca buku (Kompas, 17 April 2003:49).

Peluang baru

Menurut teori belajar humanisme, anak didik ditempatkan sebagai manusia bebas yang mampu mengarahkan dirinya secara bebas. Berdasarkan pandangan tersebut, Carl R Rogers mengembangkan bentuk belajar bebas yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk menentukan sendiri tujuan dan mengambil tanggung jawab pribadi yang positif bagi masa depannya (Nasution, 1995: 84).

Implikasinya, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal dalam proses pembelajarannya, dengan cara memberikan kesempatan mengkaji sumber-sumber belajar yang ada di lingkungannya, memperkenalkan penggunaan metode pembelajaran yang baru, penggunaan media pendidikan yang up to date, pemanfaatan lingkungan sekitar, kunjungan ke suatu obyek, dan sebagainya. Guru dituntut menciptakan suasana yang penuh tantangan, kompetitif, dinamis, dan terbuka.

Kenyataan, 60 persen remaja Indonesia lebih suka berkirim SMS daripada membaca buku tidak boleh dan tidak sepantasnya dipandang sebagai sebuah ancaman atau bahaya. Dengan penyikapan yang benar, sebenarnya sebuah peluang baru dalam proses pembelajaran siswa terbuka.

Paling tidak, guru memberi peluang kepada para siswa untuk saling say hello atau memberikan tugas melalui SMS. Keakraban yang terbentuk antara guru dan murid merupakan modal kuat untuk kesuksesan proses pembelajaran selanjutnya.

Hubungan inilah yang akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah siswa, membuka jalan memasuki dunia baru mereka, mengetahui minat mereka, dan berbicara dengan bahasa hati mereka. Dengan asumsi semakin lama teknologi semakin murah, maka ber-SMS dalam proses pembelajaran menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih funky.

Kelas dinamis

Selama ini ruangan-ruangan kelas yang diam atau tenang, seragam, datar, tidak penuh gejolak, arus komunikasi searah dari guru ke siswa, dan tidak dinamis merupakan pemandangan yang teramat biasa dan bahkan diidamkan. Padahal, menurut model pembelajaran Quantum, hakikat belajar adalah suatu proses yang seharusnya dipenuhi dengan ketakjuban, penemuan, permainan, keterlibatan, penuh keingintahuan, dan tentu saja kegembiraan (Bobbi de Porter dkk, 2002: 27).

Karena itu, guru sebagai konduktor harus mampu menciptakan suasana yang fun. Caranya dengan mengoptimalkan fitur-fitur yang disediakan vendor ponsel dan operator GSM. Dengan fitur MMS (multimedia messaging service), siswa diminta mengirimkan foto-foto kegiatan praktik lapangan ke ponsel guru atau adu cepat menemukan obyek di suatu tempat dengan cara mengirim foto obyek dimaksud dengan komentar secara lisan maupun tertulis.

Fasilitas WAP (Wireless Access Protocol) memungkinkan para siswa surfing di Internet dari dalam kelas. Dengan demikian, guru tidak perlu lagi membawa peta, gambar hewan, atau tumbuhan, penampang lintang jaringan epitel, foto meander, dan sebagainya. Tinggal klik saja situs web (web site) tertentu yang diinginkan, maka berbagai kebutuhan proses pembelajaran siswa dapat berlangsung dengan sangat menyenangkan.

Prinsipnya, fitur-fitur yang mendukung suasana kelas menjadi menggairahkan dapat digunakan dalam proses pembelajaran siswa, termasuk music phone berformat MP3. Dengan menghubungkan ponsel dengan penguat suara, musik di dalam kelas dapat diatur sesuai dengan keinginan kelas , baik volume maupun pilihan musiknya.

Dukungan operator ponsel

Sayangnya, sampai sekarang optimalisasi fungsi fitur ponsel belum semuanya dapat terpenuhi. Lagi-lagi, penyebabnya adalah keterbatasan dana. Mahalnya harga ponsel dan biaya operasional serta keterbatasan jaringan merupakan kendala yang tidak mudah untuk dipecahkan.

Untuk itu, perlu dipertimbangkan produksi massal ponsel dengan fitur tertentu yang sangat dibutuhkan siswa, seperti MMS atau WAP, untuk kemudian dijual dengan harga lebih rendah daripada harga pasar. Produsen ponsel dapat bekerja sama dengan operator GSM. Kinerja ponsel dibuat berbeda dengan ponsel untuk pasar umum, misalnya dengan mencantumkan logo operator GSM pada casing-nya.

Selain itu, perlu juga dipertimbangkan adanya kerja sama antaroperator GSM dalam layanan MMS. Tanpa adanya trafik MMS di antara mereka MMS akan menjadi fitur kerdil yang tidak banyak berarti dalam dunia pendidikan.

Yang perlu segera direalisasikan adalah penurunan tarif layanan fitur-fitur yang disediakan sehingga tidak memberatkan siswa dan guru dalam proses pembelajarannya. Bagi para guru yang memanfaatkan fitur ponsel dalam proses pembelajaran, setiap awal tahun pelajaran mengajukan proposal kebutuhan biaya ponsel untuk dimasukkan dalam rancangan anggaran belanja sekolah.

Jika MMS atau WAP belum memungkinkan, sementara SMS pun cukup. Paling tidak dengan memanfaatkan fitur SMS yang murah dan menjadi favorit remaja Indonesia, guru mampu membangun sebuah komunikasi yang sangat baik dengan para muridnya dan membiasakan siswa menggunakan teknologi informasi sehingga tidak akan ada lagi yang bilang, "Cian deh loe…, nggak ngerti TI!"

Zulkarnaen Syri L Staf Pengahar SMUN 1 Jatinom-Klaten, Jawa Tengah

http://www.x-phones.com/www/as_detail.php?id=348

Hildi Fokuskan Pembenahan Sarana Pendidikan Tidak Layak

Ditulis oleh Andry Senin, 30 Maret 2009

Hildi Fokuskan Pembenahan Sarana Pendidikan Tidak Layak
"Kita sangat prihatin dengan kondisi sekolah tersebut. Selain bangunannya yang tidak memadai, empat kelas belajar dalam satu ruangan. Belajar seperti ini tentu tidak efektif," ujar Hildi usai berkunjung ke Desa Matan Jaya, Kecamatan Simpang Hilir, belum lama ini.
Ketika dia besama rombongan meninjau kondisi SD Negeri 17 Matan Jaya, kepala daerah menyempatkan diri memasuki ruang sekolah yang terlihat begitu memprihatinkan dari tampilannya. Saat itu puluhan siswa sedang serius mendengarkan penjelasan guru mereka. Empat guru berdiri di depan kelas memberikan pelajaran. Empat guru tersebut merupakan guru kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas IV. Kondisinya terpaksa seperti itu karena empat kelas tersebut tanpa disekat berada pada satu lokal.
Hildi berjanji bahwa pemerintahan yang dipimpinnya akan terus berupaya memperbaiki sarana serta prasarana pendidikan. "Kita berharap hingga tiga tahun mendatang, semua sarana dan prasarana pendidikan terpenuhi. Jangan ada lagi (bangunan sekolah) seperti SD Negeri 17 Desa Matan Jaya yang tidak layak digunakan," ungkapnya.
Pemerintah Kabupaten Kayong Utara dikatakan dia telah berkomitmen untuk memajukan pendidikan. Upaya tersebut telah mereka mulai dengan memberikan pendidikan gratis serta membangun sarana dan prasarana pendidikan. Gebrakan itu dalam tahun ini telah dilakukan pemerintah. Seperti diungkapkan Mantan Ketua Komisi D DPRD Provinsi Kalbar tersebut, apa yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk membantu meringankan beban para orang tua.
Sejak tahun ini Hildi mengungkapkan bahwa alokasi dana pendidikan termasuk membangun sarana pendidikan cukup besar. Amanat undang-undang agar persentase anggaran pendidikan mencapai 20 persen bahkan dilampaui dengan menganggarkannya sebesar 23 persen. Melalui anggaran tersebut pemerintah berupaya membangun sekolah-sekolah seperti pembangunan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama satu atap (satap). Dengan satu atap tersebut, peluang putus sekolah dari SD berjenjang ke SMP diharapkan dia dapat ditekan. Bahkan Pemerintah Kayong Utara menurut dia bukan hanya menerapkan wajib belajar 9 tahun, namun berupaya mencapai pendidikan hingga 12 tahun.

http://www.borneotribune.com/ketapang/hildi-fokuskan-pembenahan-sarana-pendidikan-tidak-layak.html

Sarana Pendidikan dan BOS Terus Ditingkatkan [Nusantara]

Sarana Pendidikan dan BOS Terus Ditingkatkan [Nusantara]
Sarana Pendidikan dan BOS Terus Ditingkatkan
Kota Sukabumi, Pelita
Komitmen pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan di Kota Sukabumi dijalankan dengan sebaik-baiknya. Pemerintah Kota (Pemkot) Sukabumi berupaya keras menambah sarana dan prasarana sekolah guna terwujudnya peningkatan kualitas pendidikan.
Hal itu disampaikan Wakil Walikota Sukabumi saat menyampaikan pidato dalam peringatan Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) di Lapang Merdeka, Sabtu (2/5) lalu.
Dikatakan Mulyono, banyak hal yang telah dilakukan peme rintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Salah satunya, pembelian hak cipta 598 judul buku pelajaran oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Karena hak cipatnya sudah dibeli pemerintah, buku-buku tersebut boleh diperbanyak dengan fotokopi atau diambil dari internet oleh para siswa, kata wakil walikota.
Mulyono yang membacakan sambutan Mendiknas menambahkan, siapa pun dapat menggunakan, menggandakan, dan menyebarluaskan buku pelajaran yang telah dibeli hak cipatnya dengan bebas. Pembelian hak cipta buku pelajaran itu termasuk salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan.
Selain menyediakan buku-buku yang bisa digandakan secara bebas, pemerintah menambah jumlah Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Di Kota Sukabumi besarnya BOS mencapai Rp400.000 persiswa pertahun untuk tingkat SD dan Rp575.000 persiswa pertahun untuk tingkat SMP.
Dan yang paling penting adalah tingkat kesejahteraan tenaga pendidik yang ditingkatkan dua kali lipat pada waktu yang akan datang, kata Mendiknas seperti disampaikan wakil walikota.
Upacara peringatan Hardiknas diikuti unsur Muspida, kepala dinas/SKPD, guru-guru, dan murid se-Kota Sukabumi. Selepas upacara peringatan, para hadirin disuguhi paduan suara dan senam anak-anak dari kelompok pendidikan anak usia dini (PAUD). Sebagian peserta peringatan Hardiknas tampak tidak antusias mengikuti acara senam massal tersebut.
Di Kota Sukabumi, kesempatan untuk mengakses isi 598 judul buku pelajaran sangat terbuka lebar. Selain tersebarnya jasa fotokopi, sebagian besar sekolah, terutama tingkat SMP dan SMA sudah memiliki akses internet. Akan tetapi, kesadaran untuk memanfaatkan kemudahan itu nampaknya masih sangat rendah.
Setidaknya hal itu tergambar dari pengakuan Riza, murid kelas 7 SMP Negeri 7 Kota Sukabumi. Riza mengaku sama sekali tidak tahu jika ia dapat memiliki buku pelajaran sekolah dengan cara mengaksesnya melalui internet.
Pengakuan yang sama disampaikan M Saturih, guru di SD Babakan Karamat. Meski memiliki fasilitas internet gratis dari PT Telkom, M Saturih mengaku belum pernah mendownload buku pelajaran sekolah dari internet. (ck-77)
http://www.hupelita.com/baca.php?id=70131